Salam Cerdas.....
A.
Pendahuluan
Pada
dekade terakhir ini dunia pendidikan nasional sedang mengalami berbagai
perubahan yang cukup mendasar, berkaitan dengan Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional, manajemen dan kurikulum, yang diikuti oleh perubahan-perubahan teknis
lainnya. Perubahan-perubahan tersebut
diharapkan pada gilirannya dapat memecahkan berbagai permasalahan
pendidikan, baik masalah konvensional maupun kontemporer. Disamping itu,
perubahan-perubahan tersebut diharapkan pula agar mampu menciptakan iklim yang
kondusif bagi peningkatan kualitas pendidikan, dan pengembangan sumber daya
manusia untuk mempersiapkan bangsa Indonesia memasuki era kesejagatan dalam
persaingan global, terutama dalam bidang pendidikan.
Perubahan
mendasar tersebut antara lain berkaitan dengan masalah manajemen, yang semula
sentralisasi sekarang diarahkan menjadi desentralisasi. Upaya yang dilakukan
pemerintah ini tiada lain bertujuan untuk mendobrak mutu pendidikan
Indonesia yang sejak dulu selalu dilanda
banyak masalah, sehingga mutu pendidikan kita masih tergolong rendah dan sulit
untuk bersaing dengan Negara-negara lain
dalam kancah global.
B.
Pembahasan
1.
Otonomi Daerah: Otonomi Pendidikan
Menurut
Poerwadarminto otonomi daerah artinya hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[1] Rumusan otonomi menurut UU No. 22 Tahun 1999 pasal 1 huruf (h) dinyatakan
bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk membangun, mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[2]
Bahkan dalam penjelasan UU No. 22 Tahun 1999 tersebut, juga menyatakan bahwa
otonomi luas adalah keluasan daerah untuk menyelenggarakan pemerintah yang
mencakup kewenangan di bidang politik, ekonomi, dan sosial mulai perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi.
Salah satu
tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998 ialah diadakannya reformasi dalam
bidang pendidikan. Tuntutan reformasi yang amat
penting adalah demokratisasi dan desentralisasi (otonomi Daerah). Hal ini dapat
ditanggapi dalam dua segi yaitu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan
pemerintah daerah (otonomi Daerah). Hal ini berarti peranan pemerintah
dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat, demikian peranan pemerintah
pusat yang bersifat sentralistis yang berlangsung selama 50 tahun lebih akan
diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah
yang dikenal dengan sistem desentralisasi.
Awal Tahun 2001
digulirkanlah otonomi daerah yang mengacu pada dua undang-undang, yaitu Undang-undang
Nomor 22 dan Undang-undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah.[3] Dalam konsepsinya, otonomi daerah adalah konsep otonomi
pembangunan yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Meskipun demikian, konsep
otonomi yang dipilih adalah otonomi pembangunan yang dikembangkan dalam
semangat negara kesatuan Republik Indonesia. Hal ini telah menjadi kesadaran
bagi pemerintah pusat bahwa penting membangun bangsa melalui peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang lebih adil berdasarkan potensi-potensi yang
dimiliki oleh masing-masing daerah. Namun, masalah kemampuan daerah menunjukkan
adanya ketidaksamaan, sehingga bagaimana pun otonomi daerah telah diperkirakan
akan memberikan dampak negatif di samping adanya pula dampak positif, secara
bijak itu dapat dimaknai sebagai sunnatullah. [4]
Dalam UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS), dinyatakan bahwa ada tiga tantangan besar dalam bidang
pendidikan di Indonesia, yaitu, (1) mempertahankan hasil-hasil pembangunan
pendidikan yang telah dicapai, (2) mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dan mampu bersaing
dalam pasar kerja global, dan (3) sejalan dengan diberlakukannya otonomi
daerah, sistem pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan
penyesuaian sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis,
memperhatikan keberagaman, memperhatikan kebutuhan daerah dan peserta didik,
serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.[5] Dalam menyukseskan tujuan tersebut, maka
kebijakan di bidang pendidikan juga mengikuti perubahan yang signifikan dari
pola sentralisasi ke desentralisasi.
Seiring dengan
persoalan di atas, maka pendidikan merupakan salah satu sektor yang termasuk
sektor pelayanan dasar yang mengalami perubahan secara mendasar dengan
dilaksakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiscal, baik dari birokrasi
kewenangan penyelenggaraan pendidikan maupun dari aspek pendanaannya. Atau
dengan kata lain, desentralisasi pendidikan merupakan bagian dari kerangka
otonomi daerah yang berimplikasi pada perimbangan keuangan pusat-daerah.
2.
Sistem Sentralisasi Pendidikan
Jiwa Peraturan
Pemerintah Nomor 65 Tahun 1951 adalah pemberian sebagai wewenang kepada daerah
untuk menyelenggarakan pendidikan, dan hal ini mendapat wadahnya dalam
Undang-Undang No. 5 tahun 1974 mengenai pemerintahan di daerah yang menjurus
kepada pemberian otonomi kepada daerah. keputusan politik untuk memberi otonomi
kepada daerah mendorong pula oleh tuntutan pembangunan nasional yang semakin
meningkat dan semakin kompleks sehingga meminta penanganan yang lebih efisien
serta mengikutsertakan masyarakat sedapat-dapatnya mengambil keputusan, dalam
merencanakan, melaksanakan dan betanggung jawab atas pembangunan di daerahnya.
Sebaliknya jiwa Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 cenderung ke arah
pendekatan manajemen yang sentralistik. Hal ini mudah dimengerti karena
Peraturan Pemerintah tersebut keluar dari UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem
pendidikan Nasional sebagai suatu sistem tentunya ia harus efektif. Secara teknis, sistem
itu haruslah efisien agar keluaran dari sistem itu bermutu tinggi. Dengan sendirinya
Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan sistem itu haruslah bersifat teknis.[6]
Jadi, di satu pihak, pembangunan lama kelamaan
haruslah tumbuh dari bawah, dan sarana untuk mencapainya ialah dengan
pendekatan desentralisasi. Di pihak lain sistem pendidikan nasional kita semakin ditingkatkan mutunya dari suatu sistem meminta penyelenggaraan yang lugas,
efisien, dan oleh sebab itu, cenderung kepada sentralisasi. Kecenderungan
kepada pedekatan manajemen yang sentralistik menurut pendapat beberapa ahli
berakar pada faktor-fator sejarah dan budaya Indonesia yang menghambat
pengembangan kewiraswastaan serta sumber pengembangan kelembagaan serta
pengolahan. Pengalaman kolonial telah menumbuhkan kecenderungan yang mematikan
inisiatif karena terdapat unsur paksaan sehingga secara inheren telah
tumbuh sikap resistensi dan kecurigaan terhadap petunjuk yang datang dari
atas. Selain itu budaya feodelisme yang melahirkan kepemimpinan father
figure telah menumbuhkan sikap kepemimpinan yang selain diakui mempunyai
nilai-nilai positifnya, lebih banyak menjadi penghalang bagi tumbuhnya
kepemimpinan yang kreatif dan terbuka sehingga lebih dapat mendorong
pembangunan.[7] Allah telah
mensiyalir mengenai hal ini di dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Qashash ayat 77 yang berbunyi:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan” (QS; 28: 77).[8]
Kelemahan
konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional secara sentralisasi, yaitu
(1) kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang
pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi,
budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah, (2) kebijakan dan
penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian
target-target tertentu seperti target kurikulum yang pada gilirannya
mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah
dan potensi anak didik. [9]
Kualitas
pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan, berada pada urutan paling
belakang dibandingkan dengan pendidikan bangsa-bangsa lain di tingkat regional
maupun internasional. Hal tersebut tercermin antara lain dari hasil studi
kemampuan membaca untuk tingkat SD yang dilaksanakan oleh International
Educational Achievement (IEA) menunjukkan bahwa peserta didik SD di Indonesia berada pada urutan ke 38 dari 39
negara peserta studi. Sementara untuk tingkat SLTP, studi kemampuan matematika,
Indonesia hanya berada pada urutan ke 39 dari 42 negara dan untuk kemampuan IPA
juga berada pada peringkat ‘buncit’ yaitu urutan ke-40 dari 42 negara peserta (
Propenas, 2000 ). Di samping itu dari hasil survey yang dilakukan oleh Political
and Economic Risk Conusultancy (PERC), sistem pendidikan di
Indonesia terburuk di kawasan Asia, dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan
memiliki sistem pendidikan pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang,
Taiwan, India, Cina dan Malaysia. Indonesia menduduki urutan terbawah di bawah
Vietnam (Kompas, 5 September 2001)”[10]
Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan
nasional yang menggunakan pendekatan educational production function atau
input – output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen.
Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat
produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam
kegiatan produksi tersebut, maka lembaga akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bila input pendidikan seperti
pelatihan guru, pengadaan buku, alat belajar, sarana dan prasarana dipenuhi
maka mutu pendidikan (output) akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu
pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, karena dalam menerapkan pendekatan educational
Production function terlalu memusatkan pada input dan kurang
memperhatikan pada proses. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan
secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai
penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang
mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang
dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Ketiga, peran serta
masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sealama
ini sangat minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak
bersifat dukungan input (dana)
bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi dan
akuntabilitas).[11]
Jika
diamati data di atas, nampak jelas bahwa kualitas pendidikan Indonesia berada
pada level bawah dan dipandang perlu untuk mengadakan pembenahan di berbagai
sektor terutama manajemen sebagai bagian
dari upaya melejitkan mutu pendidikan. Menurut Depdiknas kondisi di atas
disebabkan oleh tiga faktor, yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami
peningkatan.
3.
Sistem Desentralisasi Pendidikan
Otonomi daerah salah satu bentuk
disentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi
kepentingan bangsa secara keseluruhannya, yaitu upaya untuk lebih mendekati
tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita masyarakat
yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera.
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004).[13]
Perangkat hukum ini menjadikan kekuatan dalam pembenahan pendidikan di
Indonesia, sebagaimana subtansi dari ayat berikut juga:
Artinya: “Hai jama'ah jin dan
manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” (Q.S; (55): 33).[14]
Desentralisasi pendidikan pada hakekatnya merupakan
pengakuan bahwa proses pendidikan tidak akan berjalan dengan baik kalau
semuanya dikontrol dari pusat. Proses pendidikan bukannya suatu pabrik yang
apabila tombol sudah dipencet, maka proses akan berjalan secara teratur
sebagaimana telah diprogramkan. Tetapi, pendidikan adalah merupakan suatu
proses di mana melibatkan interaksi antara input dengan lingkungan.
Karena interaksi yang ada dan lingkungan memiliki karakteristik yang berbeda
dari satu tempat dengan tempat lain, maka keseragaman secara menyeluruh yang
dikomandankan dari pusat tidak akan pernah menghasilkan proses pendidikan yang
maksimal. Dengan kata lain,
kebijaksanaan desentralisasi akan dapat mengoptimalkan proses pendidikan yang
berkualitas. Dengan desentralisasi berarti pemegang kendala pendidikan di
tingkat bawah akan mempunyai peran yang lebih besar. Keadaan ini akan mendorong
kreativitas dan improvisasi dalam melakanakan pendidikan. Sehingga akan
terdapat usaha yang terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan. [15]
Pemberlakuan
Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menuntut pelaksanaan
otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan.[16] Dalam konteks
pelaksanaan otonomi daerah ditegaskan bahwa sistem pendidikan nasional yang
bersifat sentralisasi selama ini mendorong terjadinya demoktratisasi dan
desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Sebab sistem pendidikan yang
sentralistis diakui kurang bisa mengakomodasi keberagaman daerah, keberagaman
sekolah, serta keberagaman peserta didik, bahkan cenderung mematikan
partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan.[17]
Pemberlakuan otonomi daerah membawa implikasi
terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan, yang salah satunya adalah
berkurangnya peran pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan. Disadari
bahwa pemberian porsi yang lebih besar kepada daerah untuk melaksanakan
pembangunan di bidang pendidikan, membawa sejumlah implikasi, seperti bidang
administrasi, kelembagaan, keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena
itu, kesiapan daerah untuk dapat menjalankan peran yang lebih besar menjadi
sentral dalam pelaksanaan disentralisasi pendidikan.[18] Upaya ini merupakan
bentuk dekontrasi wewenang yang semula berada di pusat kembali ke daerah. Manajemen pendidikan
desentralisasi tersebut tujuannya yaitu:
a.
Menumbuh kembangkan setiap birokrasi.
b. Mengembangkan pendidikan berdasarkan kehidupan nyata
dan daerah.
c. Menciptakan suatu sistem pendidikan dengan kebijakan
yang konkrit.
d.
Meningkatkan sumber daya manusia yang
profesional.
e. Partisipasi masyarakat menuju masyarakat madani.
f.
Partisipasi dan akuntabilitas
pendidikan.
Dalam kontek
penyelenggaraan disentralisasi di bidang pendidikan terdapat banyak persoalan
muncul, karena pelaksanaan sentralisasi pendidikan berbeda dengan
desentralisasi bidang pemerintahan lainnya yang pada dasarnya terkonsentrasi
pada tingkat kabupaten dan kota, desentralisasi pendidikan justru tidak hanya
terhenti pada tingkat kabupaten dan kota tetapi lebih jauh yaitu sampai pada
tingkat sekolah. Dalam upaya memaksimalisasi penyelenggaraan desentralisasi
pendidikan tersebut, sekarang di kembangkan konsep Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS), yang berupaya meningkatkan peran sekolah dan masyarakat sekitar (stakeholder)
dalam pengelolaan pendidikan, sehingga penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih
baik dan mutu lulusan semakin bisa di tingkatkan. MBS memberikan kekuasaan dan kebebasan yang
besar pada sekolah. Disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya
pengalihan kewenangan pengambilan keputusan kelevel sekolah, maka sekolah
diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pengembangan yang sesuai
dengan kondisi dan tuntunan lingkungan masyarakatnya, atau dengan kata lain,
sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat.[19]
Otonomi di bidang pendidikan hendaknya tidak hanya diartikan sebagai
pemberian kewenangan daerah untuk mengelola pendidikan dan sekolah, tetapi juga
harus diartikan untuk mengurus kegiatan proses pengelolaan pendidikan di
sekolah dalam upaya mengoptimalkan hasil pembelajaran.[20] Prakteknya, untuk tingkat satuan pendidikan saat
ini, pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas telah menyusun perangkat Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Keterbatasan pemerintah dalam
pengadaan sarana pembelajaran, menyebabkan dukungan serta partisipasi
masyarakat menjadi semakin penting, terutama masyarakat yang terkait langsung
dengan sekolah yang bersangkutan. Pendidikan sebagai lembaga sosial akan
semakin lancar dan berhasil dalam melaksanakan tugasnya, serta memperoleh
simpati dari masyarakat, jika dapat menjalin hubungan yang akrab dan serasi
dengan masyarakat, melalui manajemen
pengembangan hubungan sekolah dengan masyarakat.[21] Inilah wujud dari
dekonstrasi akibat kebijakan desentralisasi yang mulai dijalankan pemerintah di
bidang pendidikan.
Sekolah dianggap mempunyai daya tarik, daya
saing dan daya tahan, paling tidak mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Sekolah tersebut proses
pembelajarannya bermutu dan hasilnya juga bermutu. Bermutu dalam bidang
akademiknya, bermutu dalam pendampingan emosionalnya, dan bermutu dalam
pembimbingan spiritualnya.
b. Sekolah tersebut biayanya sebanding
dengan mutu yang diperlihatkannya. Biasanya orang tua yang sadar akan mutu
pendidikan menganggap biaya merupakan persoalan nomor dua. Dalam dunia bisnis
ada istilah bahwa bisnis yang bermutu itu mahal, dan yang tidak bermutu itu
murah. Agaknya perarel dengan pandangan ini juga berlaku dalam dunia
pendidikan, bahwa untuk menjadikan sekolah bermutu ternyata biayannya mahal
sekali, dan sulit ditemukan dengan biaya yang sangat rendah, tetapi sekolahnya
bermutu.
c.
Sekolah tersebut memiliki etos kerja
tinggi dalam arti komunitas pendidikan tersebut telah mempunyai kebiasaan untuk
bekerja keras, mendidik, tertib, disiplin, penuh tanggung jawab, objektif, dan
konsisten. Nilai-nilai budaya ini menjadi sikap dan milik seluruh anggota komunitas
pendidiakan pada unit sekolah itu.
d.
Sekolah tersebut dari segi keamanan
secara fisik dan psikologis terjamin, dalam arti komplek sekolah tersebut
sungguh-sungguh menanamkan sikap ramah lingkungan untuk hidup tertib, indah,
rapi, aman, rindang, nyaman dan menjadikan orang betah di dalamnya.
e. Sekolah
tersebut di dalamnya tercipta suasana yang humanis, terpeliharanya budaya
dialog, komunikasi latihan bersama, dan adanya validasi teman sejawat. Dengan kata lain, terpelihara pendidikan
humaniorannya, religiusitannya, moral dan akhlaknya.[22]
Penyempurnaan sistem pendidikan
menitikberatkan pada: pertama, pelaksanaan otonomi pengelolaan
pendidikan, kedua, pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun, ketiga,
pengembangan dan pelaksanaan kurikulum yang menekankan pada kompetensi, keempat,
penyelenggaraan sistem pendidikan yang terbuka, kelima peningkatan
profesionalisme tenaga kependidikan, keenam, penyediaan sarana pendidikan
yang memadai, ketujuh, pembiayaan pendidikan yang berkeadilan,
kedelapan, pemberdayaan peran masyarakat, kesembilan, pengawasan evaluasi, dan
kreditasi pendidikan, (Direktorat Menegah Umum Depdiknas, 2003).[23]
Sekolah berpeluang mengembangkan mutu guru karena setiap sekolah diberi
otonomi sekolah khusus mengenai pengembangan unsur pendidikan di dalamnya
Berbagai kebijakan yang bisa dilakukan oleh sekolah seperti hal-hal sebagai
berikut:
a. Menentukan sendiri guru-guru yang akan direkrut oleh
sekolah.
b. Menentukan sendiri kriteria dan jumlah calon siswa
yang akan diterima.
c.
Menentukan sendiri sistem penilaian kinerja
guru dan peserta didik.
d. Menentukan sendiri kegiatan-kegiatan yang dilakukan
dalam rangka pendidikan.
e. Menentukan sendiri biaya-biaya pendidikan yang harus
ditanggung oleh orang tua siswa.
f. Menentukan sendiri metodologi pembelajaran dan
kurikulum pendidikan yang akan dipakai.
Otonomi sekolah sangat perlu dikembangkan untuk kemajuan pendidikan di
masa depan. Otonomi sekolah sangat memerlukan kerjasama dan kinerja
masing-masing elemen pendidikan dalam menghadirkan fisik dan non fisik
kebutuhan pendidikan, termasuk dalam masalah sarana dan prasarana pembelajaran.
Dalam rangka untuk mewujudkan satu perubahan penting dalam
pendidikan, seorang kepala sekolah memerlukan dukungan banyak sumber-sumber
daya dari komite sekolah. Dukungan yang diperlukan meliputi:
a.
Personil, seperti tenaga asli,
konsultan, guru, orang tua, pengawas, dan sebagainya.
b.
Dana yang diperlukan untuk mendukung
tersedianya sarana dan prasarana pembelajaran.
c.
Dukungan berupa informasi, lembaga dan
sikap politis.[25]
Pasal 56
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tentang Komite Sekolah menjelaskan
bahwa:
a. Masyarakat berperan dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah.
b. Dewan pendidikan sebagai lembaga
mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan
tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.
c. Komite sekolah sebagai lembaga
mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkatan satuan pendidikan.
d.
Ketentuan mengenai pembentukan komite
sekolah sebagaimana dibentuk dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.[26]
Berbagai masalah pengajaran, seperti
pengumpulan uang untuk memperindah sekolah untuk menambah ruangan baru,
melengkapi kekurangan sarana dan prasarana pembelajaran, dan lain-lain, dapat
diusahakan dengan lebih mudah. Semuanya itu dapat
dimintakan bantuan dan permufakatan dengan pengurus komite. Akan tetapi, setiap
sekolah yang mempunyai komite sekolah, hendaknya selalu menjaga agar ada
batas-batas yang tegas antara fungsi atau pekerjaan lembaga pendidikan Islam
sebagai instansi pemerintah yang mempunyai hirarki sendiri, dan tugas kewajiban
pengurus komite tersebut.
C.
Kesimpulan
Sistem manajemen pendidikan yang sentralistik
dimana kewenangan dalam bidang pendidikan semuanya dari pusat. Kelemahannya,
karena mengabaikan keragaman sesuai dengan relitaskondisi ekonomi, budaya
masyarakat Indonesia di berbagai daerah, dan mengabaikan proses pembelajaran
yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik. Seiring
dengan perubahan kebijakan otonomi daerah, khususnya otonomi pendidikan, maka
terjadi dekonsentrasi kewenangan, dari pusat, semuanya kembali ke sekolah.
Desentralisasi pendidikan pada hakekatnya
merupakan pengakuan bahwa proses pendidikan tidak akan berjalan dengan baik
kala semuanya dikontrol dari pusat. upaya memaksimalisasi penyelenggaraan
desentralisasi pendidikan tersebut, sekarang di kembangkan konsep manajemen
berbasis sekolah (MBS), yang berupaya meningkatkan peran sekolah dan masyarakat
sekitar (stakeholder) dalam pengelolaan pendidikan, sehingga
penyelenggaraan pendidikan menjadi lebih baik dan mutu lulusan semakin bisa di
tingkatkan. MBS memberikan kekuasaan dan kebebasan yang besar pada sekolah.
Oleh : Zubir
[1]WJS.
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakara: Balai Pustaka,
1997), h. 709.
[3]Armida S. Alisjahbana, Otonomi Daerah dan Desentralisasi
Pendidikan, (Bandung: Universitas Padjajaran, 2004), h. 1.
[4]Lias Hasibuan, Melejitkan Mutu Pendidikan: Refleksi,
Relevensi dan Rekonstruksi Kurikulum, (Jambi: SAPA Project, 2004),
h. 88.
[5] Hasbullah, Otonomi Pendidikan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 1.
[6]HAR Tilaar, Manajemen
Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004), hh. 31-32.
[7]HAR Tilaar, Manajemen
Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, hh. 32-33.
[8]Yayasan
Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1981), h. 623.
[9]Hasbullah, Otonomi Pendidikan, h.
2.
[10]Hadiyanto, Mencari Sosok Desentralisasi
Manajemen Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2004), Cet
I, h. 40.
[11]Depdiknas, Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (buku 1), (Jakarta: Dirjen Pendidkan Dasar Menengah,
2001), hh. 1-2.
[12]Hasbullah, Otonomi Pendidikan, h.
9.
[13]Hasbullah, Otonomi Pendidikan, h.
9.
[14]Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 887.
[15]Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa
Depan, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000), hh. 21-22.
[16]E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah yang
Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 165.
[17]Hasbullah, Otonomi Pendidikan, h.
1.
[18]Hasbullah, Otonomi Pendidikan, h.
2.
[19]Hasbullah, Otonomi Pendidikan, hh.
3-4.
[20]Hasbullah, Otonomi Pendidikan, h.
44.
[21]E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah yang
Profesional, h. 165.
[22]Hasbullah, Otonomi Pendidikan, hh.
60-61.
[23]Kunandar, Guru Profesional, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), h. 17.
[24]Hasbullah,
Otonomi Pendidikan, h. 63.
[25]Wahjosumidjo,
Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), hh. 343-344.
[26]Depdiknas, UU Sisdiknas (Sistem
Pendidikan Nasional) 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 28.
TERIMA KASIH KA2X... IZIN COPY YAH.... :)
ReplyDelete