Salam Cerdas.....
Jiwa Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1951 adalah pemberian sebagai wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan pendidikan, dan hal ini mendapat wadahnya dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1974 mengenai pemerintahan di daerah yang menjurus kepada pemberian otonomi kepada daerah. keputusan politik untuk memberi otonomi kepada daerah mendorong pula oleh tuntutan pembangunan nasional yang semakin meningkat dan semakin kompleks sehingga meminta penanganan yang lebih efisien serta mengikutsertakan masyarakat sedapat-dapatnya mengambil keputusan, dalam merencanakan, melaksanakan dan bertanggung jawab atas pembangunan di daerahnya. Sebaliknya jiwa Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 cenderung ke arah pendekatan manajemen yang sentralistik. Hal ini mudah dimengerti karena Peraturan Pemerintah tersebut keluar dari UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional sebagai suatu sistem tentunya ia harus efektif. Secara teknis, sistem itu haruslah efisien agar keluaran dari sistem itu bermutu tinggi. Dengan sendirinya Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan sistem itu haruslah bersifat teknis.
Jadi, di satu pihak, pembangunan lama kelamaan haruslah tumbuh dari bawah, dan sarana untuk mencapainya ialah dengan pendekatan desentralisasi. Di pihak lain sistem pendidikan nasional kita semakin ditingkatkan mutunya dari suatu sistem meminta penyelenggaraan yang lugas, efisien, dan oleh sebab itu, cenderung kepada sentralisasi. Kecenderungan kepada pendekatan manajemen yang sentralistik menurut pendapat beberapa ahli berakar pada faktor-faktor sejarah dan budaya Indonesia yang menghambat pengembangan kewiraswastaan serta sumber pengembangan kelembagaan serta pengolahan. Pengalaman kolonial telah menumbuhkan kecenderungan yang mematikan inisiatif karena terdapat unsur paksaan sehingga secara inheren telah tumbuh sikap resistensi dan kecurigaan terhadap petunjuk yang datang dari atas. Selain itu budaya feodelisme yang melahirkan kepemimpinan father figure telah menumbuhkan sikap kepemimpinan yang selain diakui mempunyai nilai-nilai positifnya, lebih banyak menjadi penghalang bagi tumbuhnya kepemimpinan yang kreatif dan terbuka sehingga lebih dapat mendorong pembangunan. Allah telah mensiyalir mengenai hal ini di dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Qashash ayat 77 yang berbunyi:
Jadi, di satu pihak, pembangunan lama kelamaan haruslah tumbuh dari bawah, dan sarana untuk mencapainya ialah dengan pendekatan desentralisasi. Di pihak lain sistem pendidikan nasional kita semakin ditingkatkan mutunya dari suatu sistem meminta penyelenggaraan yang lugas, efisien, dan oleh sebab itu, cenderung kepada sentralisasi. Kecenderungan kepada pendekatan manajemen yang sentralistik menurut pendapat beberapa ahli berakar pada faktor-faktor sejarah dan budaya Indonesia yang menghambat pengembangan kewiraswastaan serta sumber pengembangan kelembagaan serta pengolahan. Pengalaman kolonial telah menumbuhkan kecenderungan yang mematikan inisiatif karena terdapat unsur paksaan sehingga secara inheren telah tumbuh sikap resistensi dan kecurigaan terhadap petunjuk yang datang dari atas. Selain itu budaya feodelisme yang melahirkan kepemimpinan father figure telah menumbuhkan sikap kepemimpinan yang selain diakui mempunyai nilai-nilai positifnya, lebih banyak menjadi penghalang bagi tumbuhnya kepemimpinan yang kreatif dan terbuka sehingga lebih dapat mendorong pembangunan. Allah telah mensiyalir mengenai hal ini di dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Qashash ayat 77 yang berbunyi:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS; 28: 77).
Kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional secara sentralisasi, yaitu (1) kebijakan pendidikan nasional sangat sentralistik dan serba seragam, yang pada gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realitas kondisi ekonomi, budaya masyarakat Indonesia di berbagai daerah, (2) kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian target-target tertentu seperti target kurikulum yang pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi anak didik.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan, berada pada urutan paling belakang dibandingkan dengan pendidikan bangsa-bangsa lain di tingkat regional maupun internasional. Hal tersebut tercermin antara lain dari hasil studi kemampuan membaca untuk tingkat SD yang dilaksanakan oleh International Educational Achievement (IEA) menunjukkan bahwa peserta didik SD di Indonesia berada pada urutan ke 38 dari 39 negara peserta studi. Sementara untuk tingkat SLTP, studi kemampuan matematika, Indonesia hanya berada pada urutan ke 39 dari 42 negara dan untuk kemampuan IPA juga berada pada peringkat ‘buncit’ yaitu urutan ke-40 dari 42 negara peserta ( Propenas, 2000 ). Di samping itu dari hasil survey yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Conusultancy (PERC), sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan memiliki sistem pendidikan pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia. Indonesia menduduki urutan terbawah di bawah Vietnam (Kompas, 5 September 2001)”
Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan pendekatan educational production function atau input – output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku, alat belajar, sarana dan prasarana dipenuhi maka mutu pendidikan (output) akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, karena dalam menerapkan pendekatan educational Production function terlalu memusatkan pada input dan kurang memperhatikan pada proses. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sealama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input (dana) bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi dan akuntabilitas).
Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan pendekatan educational production function atau input – output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku, alat belajar, sarana dan prasarana dipenuhi maka mutu pendidikan (output) akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, karena dalam menerapkan pendekatan educational Production function terlalu memusatkan pada input dan kurang memperhatikan pada proses. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik, sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan sealama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat selama ini pada umumnya lebih banyak bersifat dukungan input (dana) bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi dan akuntabilitas).
Jika diamati data di atas, nampak jelas bahwa kualitas pendidikan Indonesia berada pada level bawah dan dipandang perlu untuk mengadakan pembenahan di berbagai sektor terutama manajemen sebagai bagian dari upaya melejitkan mutu pendidikan. Menurut Depdiknas kondisi di atas disebabkan oleh tiga faktor, yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan.
Belum ada tanggapan untuk "Sistem Sentralisasi Pendidikan"
Post a Comment