Kekalahan
Jepang dalam Perang Dunia II membuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk
mempersiapkan kemerdekaan bangsa Indonesia atas dasar prakarsa bangsa Indonesia
sendiri. Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan oleh Jepang. Sebagai
gantinya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
beranggotakan 21 orang.
PPKI
diketuai oleh Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Moh. Hatta. PPKI yang dibentuk
oleh Jepang kemudian ditambah anggotanya menjadi 27 orang. Perubahan
keanggotaan PPKI memiliki nilai strategis karena PPKI murni dibentuk bangsa
Indonesia untuk mempersiapkan kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
kesan bahwa PPKI bentukan Jepang hilang.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya ke
seluruh dunia. Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945 PPKI melaksanakan
sidang. Hasil sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan 3 (tiga) hal:
1.
Menetapkan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
2.
Memilih Presiden dan Wakil Presiden,
yaitu Ir Soekarno dan Moh Hatta.
3.
Membentuk sebuah Komite Nasional,
untuk membantu Presiden.
Salah
satu keputusan sidang PPKI adalah mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang dalam Pembukaan Alinea IV mencantumkan
sila-sila Pancasila sebagai dasar negara. Perubahan penting dalam sidang ini
yaitu perubahan rumusan dasar negara yang telah disepakati dalam Piagam
Jakarta.yaitu tujuh kata setelah
Ke-Tuhanan, yang semula berbunyi “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Dalam
Sidang PPKI tersebut, Moh. Hatta menyatakan, bahwa masyarakat Indonesia Timur
mengusulkan untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “... dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ...”. Usulan
tersebut disampaikan sebagai masukan sebelum sidang yang disampaikan oleh
seorang opsir Jepang yang bertugas di Indonesia Timur, yang bernama Nishijama.
Dengan jiwa kebangsaan, para pendiri negara menyepakati perubahan Piagam
Jakarta. Dengan demikian, sila pertama Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Mengenai
kisah pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, M. Hatta menuturkan dalam
Memoirnya yang dikutip dalam Buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara, sebagai berikut:
“Pada
sore harinya aku menerima telepon dari tuan Nishijama, pembantu Admiral Maeda,
menanyakan dapatkah aku menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia
mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijama
sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku mempersilahkan mereka datang.
Opsir
itu yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan
bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut
Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Mereka
mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat
yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di dalam suatu
dasar yang menjadi pokok Undang- Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi
terhadap golongan minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka
lebih suka berdiri di luar republik Indonesia. Aku mengatakan bahwa itu bukan
suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama
Islam.
Waktu
merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta dalam
Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan tanggal 22 Juni 1945 ia
ikut menandatanganinya. Opsir tadi mengatakan bahwa itu adalah pendirian dan
perasaan pemimpin- pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan
Kaigun. Mungkin waktu itu Mr. Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat itu
hanya untuk rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia
yang beragama lain. Ia tidak merasa bahwa penetapan itu adalah suatu
diskriminasi.
Pembukaan
Undang-Undang Dasar adalah pokok dari pokok, sebab itu harus teruntuk bagi
seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecualinya. Kalau sebagian daripada dasar
itu hanya mengikat sebagian rakyat Indonesia, sekalipun terbesar, itu dirasakan
oleh golongan-golongan minoritas sebagai diskriminasi. Sebab itu kalau
diteruskan juga Pembukaan yang mengandung diskriminasi itu, mereka golongan
Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di luar Republik.
Karena
begitu serius rupanya, esok paginya tanggal 18 agustus 1945, sebelum Sidang
Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman
Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat
pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai
bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum
Kristen itu dan menggantikannya dengan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila suatu masalah yang serius dan bisa
membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya
kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut
di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.” (Mohammad Hatta, 1979: 458-560 dalam Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Tim Penyusun, 2012: 38 – 40).
Rumusan
sila-sila Pancasila yang ditetapkan oleh PPKI dapat dilihat selengkapnya dalam
naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Rumusan sila-sila Pancasila tersebut adalah:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.
Persatuan Indonesia.
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Belum ada tanggapan untuk "Penetapan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Jumlah Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)"
Post a Comment