Salam cerdas…..
Terdapat dua teori peran laki-laki dan perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini, mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati, namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki, sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya sesungguhnya hanya diskenerioi oleh struktur masyarakat patriarkhi. Oleh karena itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar bagi kehidupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga berdampak pada adanya pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajar dilakukan oleh laki-laki atau perempuan.
Teori nature (Kelemahan Sebagai Kodrat Perempuan) adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan, merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani Kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk, kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.
Senada dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature tentang laki-laki dan perempuan, Arstoteles juga mendukung ide Plato tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.
Jika Plato melihat dunia sebagai proses oposisi kembar yang tiada hentinya, Aristoteles juga mengandaikan bahwa dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar mengharuskan adanya dominasi satu pihak atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi tubuh, akal mendominasi perasaan, laki-laki mendominasi perempuan dan seterusnya. Perempuan yang didefinisikan sebagai suatu yang ganjil, menyimpang dari prototipe manusia generik adalah budak-budak dari fungsi tubuh yang pasif dan emosiaonal. Akibatnya perempuan lebih rendah dari laki-laki yang memiliki pikiran aktif dan cakap. Dampak dari dasar filsafat di atas, maka perempuan dianggap sebagai perahu/kapal tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia karena ia keluar tanpa jiwa. Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati.
Teori Nurture (Laki-laki dan Perempuan dalam Konstruksi Sosial), Pendefinisian laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala sesuatu harus memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil. Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu. Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Belum ada tanggapan untuk "2 Teori Gender"
Post a Comment