Makalah Hubungan Antara Masjid dan Kuttab dalam Sistem Pendidikan Islam

Salam cerdas.....

A.  Pendahuluan

M. Arifin misalnya, mendefenisikan pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita ajaran Islam, karena nilai-nilai ajaran Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya (peserta didik).[1] Ahmad D. Marimba mendefenisikan Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam.[2]

Pendidikan Islam merupakan suatu sistem pembinaan baik fisik maupun mental yang harus sesuai dengan cita-cita Islam sebagai sebuah agama. Kesesuaian ini mengharuskan agar agama Islam dapat dijadikan kerangka acuan yang harus mendasari pendidikan Islam dalam tingkat praktisnya (pelaksanaannya). Pendidikan Islam sangat memegang peranan penting dari tujuan hidup yang hendak dicapai oleh seorang muslim agar selamat menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Untuk melaksanakan peranannya yang ideal, maka suatu lembaga sangat dibutuhkan dalam melaksanakan pendidikan Islam. Untuk itulah sejak masa Nabi Muhammad SAW, lembaga pendidikan islam ini telah ada, mulai tumbuh dan berkembang hingga sekarang ini.

B.  Pembahasan

1.   Hakekat Lembaga/Sistem Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan, yaitu suatu sistem peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma, ideologi-ideologi dan sebagainya, baik tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material dan organisasi simbolik; kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan atau memenuhi fungsi tertentu dan tempat-tempat kelompok itu melaksanakan peraturan itu, seperti masjid, sekolah kuttab dan lain-lain. Ada penulis berpendapat bahwa hanya komponen pertama saja, yaitu peraturan-peraturqn dalam kasus pendidikan Islam adalah syari’at Islam, yang boleh disebut lembaga (institusion), sedang dua yang terakhir itu hanyalah disebut asosiasi. Dalam tulisan ini yang dimaksud lembaga mencakup tiga komponen itu kecuali kalau ditegaskan bahwa yang dimaksudkan hanya salah satu komponen itu saja. Dalam percakapan sehari-hari kadang-kadang kita sebut lembaga, padahal sebenarnya hanyalah tempat seperti masjid, kuttab, dan madrasah saja.[3]

Memang yang pertama sekali nampak bila disebut lembaga adalah tempat seperti masjid, kuttab, dan madrasah tempat lembaga (yaitu syari’at) yang bersifat mujarrad beroperasi, sebab itulah yang disaksikan oleh mata kepala dan tidak berubah setiap saat. Walaupun komponen manusia yang melaksanakan lembaga itu juga sifatnya konkrit, tetapi ia tidak kekal, dan bentuk dan volumenya selalu berubah. Maka dapat dimengerti orang lebih mudah mencapai masjid, misalnya, sebagai lembaga dari pada syari’at yang dijalankan dalam lembaga itu.[4] Untuk itu, lembaga pendidikan di sini bukan hanya fasilitas fisik saja sebagaimana yang banyak dipahami kita saat. 

2.   Eksistensi Masjid dalam Sistem Pendidikan Islam

“Masjid adalah suatu tempat yang berfungsi untuk melakukan ritual ibadah dan kegiatan lainnya oleh umat Islam yang telah dikhususkan konsepnya.”[5] Masjid di samping sebagai tempat beribadah umat Islam dalam arti khusus (mahdhoh) juga merupakan tempat beribadah secara luas, selama dilakukan dalam batas-batas syari’ah. Pada masa raululullah SAW, di samping berfungsi sebagai tempat shalat berjamaah masjid juga memiliki fungsi sosial.

“Majid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang peranan pokok, disamping fungsinya tempat berkomunikasi dengan tuhan, juga sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesama kaum muslimin.”[6]

Masjid yang dimaksud di sini adalah sebuah bangunan yang lengkap dengan sarana dan prasarananya yang dapat dipergunakan untuk mengerjakan shalat, baik sendirian atau berjama’ah, baik yang fardhu atau pun yang sunah terlebih lagi shalat jum’at, bahkan terlebih dari itu. Allah memberi perintah tersendiri kepada hambanya untuk tidak menyia-nyiakan masjid, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an:Artinya: 


“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS; 9: 18).[7]

Kondisi aktivitas persekolahan baru mengalami perubahan yang berarti ketika Islam lahir. Bagi bangsa Arab, masjid merupakan sekolah pertama yang bersifat umum dan sistematis. Di masjidlah anak-anak dan orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, menuntut ilmu.[8]

Dengan demikian, masjid tetap difungsikan untuk dua kepentingan yang satu sama lain saling menunjang dan saling menyempurnakan hingga datang masa kekhalifahan Umar bin Khuttab yang membangun tempat khusus untuk menuntut ilmu anak-anak, di sudut-sudut masjid. Masjid menjadi pusat pengajian di dalamnya terdapat kelompok-kelompok studi. negara memberikan gaji kepada ulama yang menyelenggarakan halaqah tersebut. Para ulama mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu fiqh, hadts, tafsir, atau ilmu nahwu.[9]

Penghijrahan Rasulullah SAW ke Madinah pada tahun 622 M, membawa perubahan dan pengertian yang besar terhadap penyebaran dan kestabilah agama Islam. Bagian tujuan tersebut masjid mulai didirikan di Madinah seperti Masjid Quba dan Masjid Nabawi. Fungsi masjid menurut istilah Islam adalah sebagai markas, bagi segala aktivitas agama dan masyarakat, khususnya dalam hal-hal yang berhubung dengan ibadat dan pendidikan. Rasulullah SAW menjadikan Masjid Nabawi sebagai tempat belajar mengenai urusan dunia dan agama di samping beribadat. Situasi di masjid menjadikannya lebih bebas dan sesuai sebagai tempat belajar dari pada di rumah karena di masjid, seorang itu tidak perlu meminta kebenaran untuk memasukinya jika dibandingan dengan rumah.[10]

Amalan Rasulullah SAW ini diikuti oleh para sahabat dan pengikut-pengikutnya dan juga kaum muslimin kemudiannya. Semakin berkembang negara Islam semakin banyak pula masjid dirikan untuk memainkan peranan yang penting dalam masyarakat. Pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab, negeri Persi, Syam, Mesir dan seluruh semenanjung tanah Arab ditaklukkan. Masjid-masjid didirikan di semua kampung sebagai tempat ibadat dan pusat pendidikan Islam.[11] Setelah Rasulullah SAW wafat,  beberapa orang sahabat baginda meneruskan tugas menyampaikan pengetahuan Islam kepala kaum muslimin secara sukarela. Di antaranya ialah Abdullah bin Umar, Zaid bin Thabit, Jabir bin Abdullah dan Siti A’isyah mengajar di masjid Madinah; Abdullah bin Abbas di Masjid Mekkah; Abdullah bin Mas’ud dan Darda’ di masjid Damsyik.[12] Sampai saat ini, masjid menjadi media dakwah dan pendidikan bagi umat Islam.

3.   Eksistensi Quttab dalam Sistem Pendidikan Islam

Kuttab atau maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam Kuttab telah ada di negeri Arab, walaupun belum banyak dikenal. Di antara penduduk Makkah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah Sufyan Ibnu Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Zuhroh Ibnu Kilat. Keduanya mempelajarinya di negeri Hirah. Karena tulis baca semakin terasa perlu, maka kuttab sebagai tempat belajar menulis dan membaca, terutama bagi anak-anak, berkembang dengan pesat. Pada mulanya, di awal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersangkutan, dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca. Sedangkan yang ditulis/dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada masanya.[13]

Dalam hal ini, Ahmad Syalabi dalam Sejarah Pendidikan Islam, memberikan penjelasan sebagai berikut: “Bahwa mengajarkan menulis dan membaca dewasa itu adalah salah satu dari pekerjaan kaum Zimmi dan tawanan-tawanan Perang Badar. Orang-orang itu tentu saja tidak ada hubungannya dengan Al-Qur’an al-Karim, juga dengan agama Islam. Zaman ini disambung lagi dengan zaman yang datang kemudian yang juga di masa itu pekerjaan mengajarkan, menuliskan dan membaca itu adalah dikenal  sebagai pekerjaan kaum Zimmi. Adapaun kaum muslimin yang telah belajar menulis dan membaca, banyak pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting memerlukan tenaga mereka.[14]

Para sahabat yang bertugas sebagai guru di surau tersebut ialah Abdullah bin Rawalah, Ubaidah bin Samit dan Abu Ubaidah Al-Jarrah. Mata pelajarannya tersebut Al-Qur’an, dasar-dasar Islam, seni khat, sejarah, menunggang kuda, memanah, dan bahasa asing. Tegasnya pengatahuan yang diberi meliputi pendidikan rohani dan jasmani yang menjadi keperluan individu dan masyarakat.[15]

Di antara lulusan lembaga awal sekali itu, yaitu zaman Rasulullah SAW adalah para sahabat Nabi yang terkenal luas ilmunya seperti Ali bin Abi Talib, Umar bin Kahttab, Anas bin Malik, Mu’az bin Jabal, Abu Hurairah, Abudullah bin ‘Amr bin Al-‘As, Zaid bin Tsabit, Abu al-Darda, Abu Sa’id al-Khudari, Abu Musa Al-Asy’ari, ‘Airsyah Ra dan lain-lain bagi sahabat Nabi SAW yang mencapai tahap tertinggi sekali dalam ilmu-ilmu syariah. Sebagian sahabat terkenal dengan ilmu-ilmu tertentu, walaupun secara keseluruhan menguasi ilmu-ilmu itu. Seperti ‘Abdullah bin Abbas terkenal sebagai lautan dalam ilmu Tafsir, Abu Ka’ab dalam ilmu qiraat, Ali bin Abi Thalib dalam ilmu fiqh dan qada, Mu’az bin Jaball dalam hal-hal yang mengenai halal dan haram, Zaid bin Tsabit dalam ilmu faraid dan pembagian pusaka, Anas bin Malik dan Abu Hurairah dalam meriwayatkan hadits, dan lain-lain lagi. Merekalah yang merupakan linchting pertama (first batch)( dari madrasah Rasulullah Saw di Makkah dan Madinah yang membawa panji-panji ilmu sesudah Rasulullah SAW wafat. Tidak perlu disebutkan pengaruh mereka dalam perkembangan Islam sesudah Rasulullah wafat.[16]

Di zaman khulafaurrasyidin, sahabat-sahabat Nabi SAW tersebut terus melanjutkan peranannya yang selama ini mereka pegang. Tetapi pada zaman ini muncul kelompok tabi’in yang berguru pada lulusan-lulusan pertama itu. Di antara yang paling terkenal di Madinah adalah Rabi’ah al-Raayi yang membuka pertemuan ilmiah di Masjid Nabawi di Madinah. Di antara murid-muridnya adalah Malik bin Anas al-Asbahi pengarang kitab: al-Muwatta dan pendiri Mazhab Malik. Di antara ulama-ulama tabi’in adalah Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin al-Zubair, Salim Mawla bin Umar dan lain-lain. Di antara yang belajar pada Ibn Abbas adalah Mujahid (w. 103 H) Sa’id bin Jubair (w, 94 H)., Ikrimah Mawlah ibn Abbas,  Tawus al-Yammani, Ata bin Abi Rabah, semunya di Mekkah. Di antara tabi’in itu juga adalah Al-Hasan Al-Basri yang belajar pada Rabi’ah al-Ray di Medinah, kemudian kembali di Basrah yang dikunjungi oleh penuntut-penutut ilmu daerah seluruh pelosok negeri Islam. Di antara murid-muridnya di Basrah adalah Wasil bin ‘Ata dan ‘Amr bib ‘Ubaid yang mengucilkannya kemudian sebab perbedaan pendapat tentang orang-orang yang berdosa besar.[17] Setelah Islam berkembang secara pesat, maka kuttab menjadi lembaga pendidikan Islam yang digunakan dan dikelola umat Islam.

4.   Keterkaitan Masjid Quttab dan Quttab

Di masa Nabi Muhammad SAW ataupun di masa sesudahnya masjid menjadi pusat atau sentral kegiatan kaum muslimin, kegiatan dibidang pemerintahan pun mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan, dan kemiliteran dibahas dan dipecahkan dilembaga masjid, masjid berfungsi pula sebagai pusat pengembangan kebudayaan Islam, terutama saat-saat gedung khusus belum didirikan, masjid juga ajang pengetahuan agama ataupun umum.[18]

Sebagai umat muslim, dimana semua mengetahui bahwa fungsi utama masjid adalah tempat sujud, tempat beribadah kepada Allah SWT. Ataupun tempat melakukan amalan-amalan sunah lainnya. Disamping itu juga masjid juga berfungsi sebagai tempat untuk memperingati hari besar Islam seperti peringatan maulid nabi SAW, peringatan isra’ dan mi’raj dan lain sebagainya. Dengan kata lain masjid dijadikan tempat semua kegiatan yang bertujuan untuk meninggikan syi’ar Islam dalam hal ini termasuk juga pembinaan pendidikan agama.

Dikarenakan banyak anak yang kurang memperhatikan kebersihan dari najis dan kotoran-kotoran yang menajiskan, banyak orang mengajurkan agar pelajaran kepada anak-anak tidak diberikan di dalam masjid, sebaiknya mereka menggunakan tempat-tempat belajar di pinggir jalan dan di samping pasar. Karena ada larangan untuk menjadikan masjid sebagai tempat belajar itu, karena menggunakan ruangan-ruangan yang berhubungan dengan masjid atau salah satu kamar di dalam masjid sebagai tempat mengajar anak-anak.[19] Hal ini mendorong munculnya niat untuk membuat kuttab khusus untuk anak-anak. Adalahnya istilah kuttab dalam literatur Islam awal menujukkan bahwa institusi ini telah ada sejak abad pertama Islam. Siswa-siswanya berasal dari berbagai lapisan sosial ekonomi, baik dari orang yang merdeka maupun budak.[20]

Kuttab sering kali dianggap sebagai sekolah tingkat dasar. Dan memang kenyataannya, pendidikan anak-anak dimulai dari maktab. Di samping sebagai sekolah dasar dan menengah dalam perkembangnya, lembaga ini berfungsi sebagai perguruan tinggi, tempat para alumni dalam melanjutkan pendidikan secara otodidak, mengabdi kepada seorang guru.[21]

Dalam Eksilopedia Islam 3, dikutip Suwito dan Fauzan[22], bahwa Kuttab dalam bentuk awalnya hanya berupa ruangan di rumah seorang guru, karena kondisinya yang tidak memungkinkan maka para guru dan orang tgua mencari tempat lain yang lebih lapang, yaitu sudut-sudut masjid (bilik-bilik yang berhubungan dengan masjid). Selain dari kuttab-kuttab yang diadakan di masjid terdapat pula kuttab-kuttab umum dalam bentuk madrasah yang mempunyai gedung sendiri dan dapat menampung ribuan murid.

Melalui kuttab, pendidikan Islam telah diajarkan secara klasikal dimana ada pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi, meskipun kurikulumnya belum teratur dan kompleks seperti yang terdapat saat ini, namun telah ada perkembangan yang berarti dibandingkan pendidikan di masjid.

C.  Kesimpulan

Majid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang peranan pokok, disamping fungsinya tempat berkomunikasi dengan tuhan, juga sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesama kaum muslimin. Sedangkan istilah kuttab dalam literatur Islam awal menunjukkan bahwa institusi ini telah ada sejak abad pertama Islam. Siswa-siswanya berasal dari berbagai lapisan sosial ekonomi, baik dari orang yang merdeka maupun budak.

Kuttab dalam bentuk awalnya hanya berupa ruangan di rumah seorang guru, karena kondisinya yang tidak memungkinkan maka para guru dan orang tgua mencari tempat lain yang lebih lapang, yaitu sudut-sudut masjid (bilik-bilik yang berhubungan dengan masjid). Selain dari kuttab-kuttab yang diadakan di masjid terdapat pula kuttab-kuttab umum dalam bentuk madrasah yang mempunyai gedung sendiri dan dapat menampung ribuan murid.

Oleh : Firdaus



[1]M. Arifin,  Kapita Selekta Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 10.
[2]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma’arif, 1989), h.. 23.
[3] Hasan Langulung, Pendidikan Islam dalam Abad Ke 21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 2003), h. 16.
[4]Hasan Langulung, Pendidikan Islam dalam Abad Ke 21, hh. 16-17.
[5]Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 206.
[6]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1988), h. 99.
[7]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1994), h. 280.
[8]Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, Cet. 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 148.
[9]Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, hh. 148-149.
[10]M.A. Al-Abrasyi sebagaimana dikutip Hasan Langulung, Pendidikan Islam dalam Abad Ke 21, h. 18.
[11]Al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islam, (Qahirah: Dar al-Ma’arif, 1967), h. 64 & 65.
[12] Ayub Ali sebagaimana dikutip Hasan Langulung, Pendidikan Islam dalam Abad Ke 21, h. 18.
[13]Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 89-90.
[14]A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muhtar Yahya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 37.
[15]Hasan Langulung, Pendidikan Islam dalam Abad Ke 21, h. 18-19.
[16]Hasan Langulung, Pendidikan Islam dalam Abad Ke 21, h. 21.
[17]Hasan Langulung, Pendidikan Islam dalam Abad Ke 21, h. 21-22.
[18]E. Ayub, Manajemen Masjid. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 2.
[19]Muhammad Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam, Terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 71.
[20]George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya Terhadap Ranainsan Barat, Terj. A. Syamsu Rizal dan Nur Hidayah, (Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi, 2005), h. 85.
[21]George A. Makdisi, Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya Terhadap Ranainsan Barat, h. 86.
[22]Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet. 1, h. 12. 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Makalah Hubungan Antara Masjid dan Kuttab dalam Sistem Pendidikan Islam"

Post a Comment