Salam cerdas…..
A. Pendahuluan
Pendidikan Islam bagi umat manusia merupakan sistem
dan cara meningkatkan kualitas hidup dalam segala bidang keislaman. Dalam
sejarah hidup umat manusia di muka bumi ini hampir tidak ada kelompok manusia
yang tidak menggunakan pendidikan sebagai cara pembudayaan dan peningkatan
kualitas hidup. Pendidikan Islam pada masa sekarang ini merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat sehingga pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan formal selalu
memajukan pendidikan agama Islam bagi masyarakat karena dengan pendidikan agama Islam diharapkan akan melahirkan
manusia-manusia generasi penerus yang bertanggung jawab dan kreatif. Hal ini
seiring dengan tujuan pendidikan nasional yang mempunyai tujuan yang penting
bagi kelangsungan kehidupan bangsa yang sedang membangun.
Pelaksanaan pendidikan bagi bangsa Indonesia dalam era globalisasi ini sangatlah penting karena melalui usaha pendidikan dapat ditentukan
keberhasilan dari semua pelaksanaan pembangunan yang dicita-citakan baik berupa
pembangunan fisik, maupun mental spiritual. Pendidikan juga merupakan syarat
mutlak untuk menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera, sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan “Tujuan Pendidikan
Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta
bertanggung jawab.”[1]
Pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia serta kualitas agama sumber daya manusia Indonesia. Peningkatan kualitas pendidikan agama Islam harus dimulai dari peningkatan kualitas tenaga pendidikan, di samping
pembaharuan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta penyediaan media pendidikan yang memadai.
B.
Pembahasan
1. Pendidikan Agama Islam dan Kedudukannya
H.M Arifin memandang, bahwa
pendidikan Islam adalah suatu proses pendidikan yang mencakup seluruh aspek
kehidupan yang dibutuhkan hamba Allah (anak didik) dengan berpedoman pada ajaran Islam. Abdul Munir Mulkhan,
mengartikan pendidikan Islam sebagai suatu kegiatan insaniah, memberi atau
menciptakan peluang untuk teraktualkannya akal potensial menjadi akal aktual,
atau diperolehnya pengetahuan yang baru. Sedangkan M. Kanal Hasan,
sebagaimana dikutip Taufiq Abdullah dan Sharon Shiddique, mendefinisikan bahwa
pendidikan Islam adalah suatu proses yang komprehensif dari perkembangan
kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi intelektual, spiritual,
emosi dan fisik.[2]
Menurut
Zakiah Daradjat dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, dikatakan:
a. Pendidikan agama Islam ialah usaha
berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak selesai
pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya
pandangan hidup ( way of life).
b. Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan yang
dilaksanakan berdasarkan ajaran agama Islam.
c. Pendidikan agama Islam yaitu berupa bimbingan dan
asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia
dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama yang telah
diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama islam itu sebagai
pandangan hidupnya. Demi keselamatan dan kesejahteraan
hidup di dunia dan di akhirat.[3]
Menurut Muhaimin, yang
dimaksud Pendidikan Islam adalah (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang
atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau sekelompok siswa dalam menanamkan
ajaran dan/atau menumbuhkembangkan nilai-nilai Islam; (2) segenap fenomena atau
peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang berdampak pada tertanamnya
ajaran dan/atau tumbuh kembangnya nilai-nilai Islam pada salah satu atau
beberapa pihak; dan (3) keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasari segenap
program dan kegiatan pendidikannya atau pandangan serta nilai-nilai Islam.[4]
Dilihat dari aspek program
dan praktek pendidikan Islam yang dilaksanakan, pertama di Indonesia, menurut
Muhaimin setidak-tidaknya dapat dibagi ke dalam lima jenis, yaitu (1)
pendidikan pondok pesantren; (2) pendidikan madrasah, dan pendidikan lanjutan
seperti IAIN/STAIN atau perguruan tinggi Islam yang bernaung di bawah
Kementerian Agama; (3) pendidikan umum yang bernafaskan Islam, yang
diselenggarakan oleh dan/atau berada di bawah naungan yayasan dan organisasi
Islam; (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga
pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja; dan (5)
pendidikan Islam dalam keluarga atau tempat-tempat ibadah, dan/atau forum-forum
kajian keislaman, majelis ta’lim dan sebagainya.[5] Pendidikan agama Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sejak
awal kedatangannya ke Indonesia, pada abad ke-6 M, Islam telah mengambil peran
yang amat siginifikan dalam kegiatan pendidikan. Peran ini dilakukan, karena
beberapa pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, Islam memiliki
karakter sebagai agama dakwah dan pendidikan. Dengan karakter ini, maka Islam
dengan sendirinya berkewajiban mengajak, membimbing, dan membentuk kepribadian
ummat manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan inisiatifnya
sendiri, ummat Islam berusaha membangun sistem dan lembaga pendidikan sesuai
dengan keadaan zaman, seperti pesantren, madrasah, majelis ta’lim dan
sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini telah dilahirkan para ulama, tokoh
agama, para pemimpin masyarakat yang telah memberikan sumbangan yang besar
bagi kemajuan bangsa.
Kedua, terdapat hubungan
simbiotik fungsional antara ajaran Islam dengan kegiatan pendidikan. Dari satu
sisi Islam memberikan dasar bagi perumusan visi, missi, tujuan dan berbagai
aspek pendidikan, sedangkan dari sisi lain, Islam membutuhkan pendidikan
sebagai sarana yang strategis untuk menyampaikan nilai dan praktek ajaran Islam
kepada masyarakat. Adanya penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam
adalah sebagai bukti keberhasilan pendidikan dan dakwah Islamiyah.
Ketiga, Islam melihat bahwa
pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk mengangkat harkat dan
martabat manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Itulah sebabnya tidak
mengherankan, jika ayat 1 sampai dengan 5 surat al-’Alaq, sebagai ayat
al-Qur’an yang pertama kali diturunkan, telah mengandung isyarat tentang
pentingnya pendidikan. Ayat 1 sampai dengan 5 surat al-’Alaq tersebut artinya:
”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu. Yang telah menjadikan manusia dari
segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Maha Mulia. Yang telah mengajarkan manusia
dengan pena. Ia mengajarkan manusia tentang segala sesuatu yang belum
diketahuinya”. Pada ayat tersebut paling kurang terdapat lima aspek pendidikan:
1) Aspek proses dan metodologi, yaitu membaca dalam arti yang seluas-luasnya:
mengumpulkan informasi, memahami, mengklasifikasi atau mengkategorisasi,
membandingkan, menganalisa, menyimpulkan dan memverifikasi. 2) Apek guru, yang
dalam hal ini Allah SWT; 3) Aspek murid, yang dalam hal ini Nabi Muhammad SAW
dan ummat manusia; 4) Aspek sarana prasarana, yang dalam hal ini diwakili oleh
kata qalam (pena); dan 5) Aspek kurikulum, yang dalam hal ini segala sesuatu
yang belum diketahui manusia (maa lam ya’lam). Kelima hal tersebut merupakan
komponen utama pendidikan.
Sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan zaman, pendidikan Islam telah menampilkan
dirinya sebagai pendidikan yang fleksibel, responsif, sesuai dengan
perkembangan zaman, berorientasi ke masa depan, seimbang, berorientasi pada
mutu yang unggul, egaliter, adil, demokratis, dinamis, terbuka, sepanjang hayat
dan seterusnya. Sesuai dengan sifat dan karakternya yang demikian itu
pendidikan Islam senantiasa mengalami inovasi dari waktu ke waktu, yaitu mulai
dari sistem dan lembaganya yang paling sederhana seperti pendidikan di rumah,
surau, langgar, mesjid, majelis ta’lim, pesantren dan madrasah, sampai kepada
perguruan tinggi yang modern. Inovasi pendidikan Islam juga terjadi hampir pada
seluruh aspeknya, seperti kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga pengajar,
sarana prasarana, manajemen dan lain sebagainya. Melalui inovasi tersebut, kini
pendidikan Islam yang ada di seluruh dunia (termasuk di Indonesia) amat
beragam, baik dari segi jenis, tingkatan, mutu, kelembagaan dan lain
sebagainya. Kemajuan ini terjadi karena usaha keras dari ummat Islam melalui
para tokoh pendiri dan pengelolanya, serta pemerintah pada setiap negara.[6]
2. Problem Pendidikan Agama Islam dalam Dunia Globalisasi
Problem
mendasar yang dihadapi masyarakat muslim di negara berkembang adalah
keterbelakangan ekonomi sebagai akibat rendahnya tingkat kualitas pendidikan.
Masalah pendidikan memang sangat kompleks sementara di sisi lain dominasi
peradaban Barat yang sekularistik terus merajalela. Upaya mengejar
ketertinggalan dari barat yang sekularistik terus merajalela. Upaya mengejar
ketertinggalan dari barat memang telah dilakukan. Hanya saja strategi
pembangunan yang mengadopsi barat dan meletakkan model kapitalisme sebagai
kiblat yang harus di tiru telah memberikan implikasi terciptanya masyarakat
yang hedonis, individualis, dan materialistik. Negara-negara berkembang telah
meletakkan unsur “kebendaan” sebagai tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan
hidup, predikat kesuksesan atau standar keberhasilan pada umumnya disandarkan
hanya pada perhitungan materi belaka, jadi standar yang masih pada tataran yang
dangkal dan materialis semata.
Dalam
kondisi yang demikian, pendidikan Islam menghadapi persoalan yang cukup serius
dan rentan terhadap terjadinya krisis nilai. Pola hidup materialisme di tengah
masyarakat dewasa ini tentunya sebuah tantangan berat bagi pendidikan Islam
yang berkarekteristik balancing antara kepentingan dunia dan akhirat.[7]
Konsep pendidikan Islam hingga saat ini masih berusaha mencari jati diri, di
satu sisi harus mempertahankan khazanah keilmuan keislaman di sisi lain harus
dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern umat islam jauh tertinggal
dari dunia barat. Padahal mereka telah menghasilkan banyak konsep dan teori
yang terinspirasi oleh tokoh-tokoh ilmuan muslim.
Dalam
konteks keindonesiaan, kualitas pendidikan Islam yang dalam hal ini pesantren
dan madrasah masih jauh dari harapan. Oleh karenanya perlu adanya
terobosan-terobosan baru untuk dapat berkompetisi di dunia global. Persoalan
yang muncul adalah bagaimana dampak negatif
gobalisasi terhadap pendidikan islam dan upaya mengatasinya. Dan
bagaimana memformulasikan pendidikan Islam dalam percaturan global.
Efek
negatif dari globalisasi harus di hadapi oleh agama yang mendidik kearah
perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan hidup.[8]
Kita semua faham bahwa persoalan internal pendidikan Islam sendiri, baik secara
kelembagaan maupun keilmuan. Masih menghadapi persoalan-persoalan yang belum
terpecahkan, dari persoalan manajemen, ketenagaan, sumber dana, infrastruktur
dan kurikulum. Akibatnya mutu pendidikan Islam sangat rendah juga dibarengi
oleh para pengelola pendidikan Islam tidak lagi sempat dan mampu mengantisipasi
adanya tantangan globalisasi yang menghadang dihadapan.
Efek
negatif yang menyertai munculnya globalisasi yang harus dihadapi oleh
pendidikan Islam, itu antaranya persaingan bisnis yang sangat ketat,
nilai-nilai agama sudah bergeser dan kabur, dekadensi moral, pergaulan remaja
yang cenderung bebas, kebutuhan hidup yang tinggi sehingga sering merusak
kelembagaan keluarga, penyalah gunaan obat, minum-minuman keras, dan penyakit
social lainnya.
Menghadapi
problem yang demikian berat, pendidikan Islam tidak bias menghadapinya dengan
model-model pendidikan dan pembelajaran seperti yang sudah ada sekarang ini.
Pendidikan Islam harus terus menerus melakukan pembenahan dan inovasi serta
bekerja keras untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dan juga melakukan
langkah-langkah baru kearah kemajuan khususnya Sumber Daya Manusia.[9]
Dari
pengembangan keilmuan, dari berbagai problem yang muncul di atas, jelas tidak
bisa direspon hanya dengan ilmu-ilmu yang selama ini di lembaga pendidikan
Islam seperti fiqih, kalam, tasawuf, aqidah akhlak, tarikh.[10]
Ilmu-ilmu
tersebut di atas tidak mampu menjawab persoalan aktual pada lingkungan hidup
seperti : global warming, datangnya industri, adanya pencemaran limbah beracun,
penggundulan hutan, gedung pencakar langit, polusi udara, dan problem social
antara lain banyaknya pengangguran, penegakan hukum, hak asasi manusia dan
sebagainya. Dalam hal ini ilmu keislaman perlu dan butuh dukungan ilmu lain
seperti ilmu-ilmu sosial, humaniora, kealaman secara interkoneksi dan saling
mendukung.
Arus
global itu bukan lawan atau kawan bagi pendidikan Islam, melainkan sebagai
dinamisator. Bila pendidikan Islam mengambil posisi anti global, maka akan
macet tidak bergerak dan pendidikan Islam akan mengelami penutupan intelektual.
Sebaliknya bila pendidikan Islam terseret oleh arus global, tanpa daya lagi
identitas keislaman sebuah proses
pendidikan akan dilindas. Oleh karena itu, pendidikan Islam harus memposisikan
menarik ukur global, dalam arti yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam untuk
diadopsi dan dikembangkan. Sedangkan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
ajaran Islam diulurkan, dilepas dan ditinggalkan. Bilamana pendidikan Islam itu
menutup diri (bersikap eksklusif) akan ketinggalan zaman, sedangkan membuka
diri beresiko kehilangan jati diri atau kepribadian.[11]
Bagi
pendidikan Islam, turbulensi[12]
arus global bisa menimbulkan paradoks atau gejala kontra moralitas, yakni
pertentangan dua fisi moral secara diametral, contoh guru menekankan dan
mendidik para siswanya berdisiplin berlalu lintas tetapi realita di lapangan
sopir bus tidak berlalu lintas, guru mengajar anak didiknya untuk tidak dan
menghindar tawuran antar pelajar akan tetapi siswa melihat dilayar televise
anggota DPR RI tidak bisa mengendalikan emosinya di mata bangsa, di sekolah
diadakan razia pornografi di media Televisi, internet menampilkan pornografi
termasuk iklan-iklan yang merangsang hawa nafsu syahwat, dan lain-lain.[13]
Karena
globalisasi, langsung atau tidak, dapat membawa paradoks bagi praktik
pendidikan Islam, seperti terjadinya kontra moralitas antara apa yang
diidealkan dalam pendidikan Islam dengan realitas di lapangan berbeda, maka
gerakan tajdid dalam pendidikan Islam
hendaknya melihat kenyataan kehidupan masyarakat lebih dahulu, sehingga ajaran
Islam yang hendak didikkan dapat landing,
dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar dapat dirasakan makna dan
faedahnya, akan tetapi mengabaikan lingkungannya tentu akan kehilangan makna
ibadah itu sendiri.
Pendidikan
Islam dalam tataran idealisme mengalami benturan nilai dengan peristiwa yang
terjadi di berbagai belahan dunia, dimana dalam era global ini kita bisa
langsung melihat layer TV perang antar Negara, kerusuhan missal, unjuk rasa
yang anrkis, pemberontakan gerakan sparatis, dan lain-lain. Pendidikan Islam
mengajarkan aurat kaum hawa apabila
menginjak dewasa atau baligh, akan tetapi arus global non- islami menciptakan
sebaliknya yakni buka paha tinggi dan buka wilayah dada, sebagaimana yang
ditayangkan di televise dan internet, berupa pornografi dan pornoaksi, adalah
trends modernitas.[14]
Perlu diketahui bersama bahwa hadirnya media massa terutama TV memberikan
dampak tertentu kepada masyarakat kalangan remaja yang kadang kala menimbulkan
efek dehumanisasi, demoralisasi.
Tiga
hal yang merupakan tema sentral hadirnya turbulensi arus global bagi pendidikan
Islam dewasa ini adalah: Lifestyle, gaya
makanan, gaya hiburan, dan gaya berpakaian (food,
fun, and fashion). Jika pendidikan Islam tidak berbuat apa-apa dalam
menghadapi perkembangan teknologi canggih dan modern tersebut, dapat dipastikan
bahwa umat Islam akan pasif sebagai penonton bukan pemain, sebagai konsumen
bukan produsen.
Pendidikan
Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga
hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan
lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam
sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran
yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan
Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam
sistem pendidikan[15]
Walaupun
demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era
global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
a.
Faktor Internal
Relasi Kekuasaan dan
Orientasi Pendidikan Islam. Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu,
yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human
dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung
jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang
selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal,
tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik. Orientasi pendidikan,
sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era
sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat
adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia. Hal ini
patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif,
dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan
yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan
cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan,
kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social
movement (gerakan sosial) menjadi hilang.[16]
Masalah Kurikulum. Sistem sentralistik
terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan
pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul.
Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output
pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem
manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia
robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan
kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga
seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas
pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.[17]
Dalam
realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami
perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap
dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan
dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran
agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur
tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk
mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir
tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan
kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai
islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam
dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan
produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan
islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi
kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar,
guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan
Islam dan cara-cara mencapainya.[18]
Pendekatan/Metode
Pembelajaran.
Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi
siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru,
memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola
pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan
teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang
tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam
arus perkembangan zaman.
Siswa
atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya,
berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu,
dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap
mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga
sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang
konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada
tantangan untuk berfikir.
Profesionalitas dan
Kualitas SDM.
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa
Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum
memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya
agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih
belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified,
underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang
mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.[19]
Biaya Pendidikan. Faktor biaya
pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang
seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan
ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil
amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN
dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi.
Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun
2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
b.
Faktor Eksternal
Dichotomic.
Masalah
besar yang dihadapi dunia pendidikan Islam adalah dichotomy dalam
beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan
Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala
perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai
tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu
pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang
tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan
sebagai mahkota semua ilmu.
To
General Knowledge. Kelemahan
dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih
terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah
(problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang
membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein
Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan,
mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan
masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah
intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan
non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu
untuk melihat konsekuensinya.
Lack
of Spirit of Inquiry. Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan
dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan
penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The
Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The
Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi salah satu faktor
terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
Memorisasi.
Rahman
menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis
yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa,
karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu
yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat
menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang
aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang.
Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi
tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini
menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing)
daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad
pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar
dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
Certificate
Oriented. Pola
yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah
memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan
perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari
guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa
karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge
oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir
tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic,
karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola
yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya
pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata.
Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau
ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas
berikutnya.[20]
3. Analisis Kebijakan Pendidikan Agama Islam dalam Dunia Globalisasi
Era globalisasi dapat
dipahami sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya penyatuan politik,
ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan lain
sebagainya, yang terjadi antara satu negara dengan negara lainnya, tanpa
menghilangkan identitas negara masing-masing. Penyatuan ini terjadi berkat
kemajuan teknologi informasi (TI) yang dapat menghubungkan atau
mengkomunikasikan setiap issu yang ada pada suatu negara dengan negara lain.
Bagi ummat Islam, era
globalisasi dalam arti menjalin hubungan, tukar menukar dan transmisi ilmu
pengetahuan, budaya dan sebagainya sebagaimana tersebut di atas, sesungguhnya
bukanlah hal baru. Globalisasi dalam arti yang demikian, bagi ummat Islam,
merupakan hal biasa. Di zaman klasik (abad ke-6 sd 13 M.) ummat Islam telah
membangun hubungan dan komunikasi yang intens dan efektif dengan berbagai pusat
peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di dunia, seperti India, China, Persia,
Romawi, Yunani dan sebagainya. Hasil dari komunikasi ini ummat Islam telah
mencapai kejayaan, bukan hanya dalam bidang ilmu agama Islam, melainkan dalam
bidang ilmu pengetahuan umum, kebudayaan dan peradaban, yang warisannya masih
dapat dijumpai hingga saat ini, seperti di India, Spanyol, Persia, Turki dan
sebagainya.
Selanjutnya di zaman
pertengahan (abad ke 13-18 M.) ummat Islam telah membangun hubungan dengan
Eropa dan Barat. Pada saat itu ummat Islam memberikan kontribusi yang besar
bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa penulis Barat seperti W.C.Smith, dan
Thomas W. Arnold misalnya, mengakui bahwa kemajuan yang dicapai dunia Eropa dan
Barat saat ini karena sumbangan dari kemajuan Islam. Mereka telah mengadopsi
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam tanpa harus menjadi orang Islam.
Pada zaman pertengahan itu, ummat Islam hanya mementingkan ilmu agama saja. Sementara ilmu pengetahuan seperti matematika, astronomi, sosiologi, kedokteran dan lainnya tidak dipentingkan, bahkan dibiarkan untuk diambil oleh Erofa dan Barat. Pada zaman ini Eropa dan Barat mulai bangkit mencapai kemajuan, sementara ummat Islam berada dalam keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
Di zaman modern (abad
ke-19 sampai dengan sekarang) hubungan Islam dengan dunia Eropa dan Barat
terjadi lagi. Pada zaman ini timbul kesadaran dari ummat Islam untuk membangun
kembali kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban
melalui berbagai lembaga pendidikan, pengkajian dan penelitian. Ummat Islam
mulai mempelajari kembali berbagai kemajuan yang dicapai oleh Eropa dan Barat,
dengan alasan bahwa apa yang dipelajari dari Eropa dan Barat itu sesungguhnya
mengambil kembali apa yang dahulu dimiliki ummat Islam.
Namun demikian,
hubungan Islam dengan Eropa dan Barat dimana sekarang keadaannya sudah jauh
berbeda dengan hubungan Islam pada zaman klasik dan pertengahan sebagaimana
tersebut di atas. Di zaman klasik dan pertengahan ummat Islam dalam keadaan
maju atau hampir menurun, sedangkan keadaan Eropa dan Barat dalam keadaan
terbelakang atau mulai bangkit. Keadaan Eropa dan Barat saat ini berada dalam
kemajuan, sedangkan keadaan ummat Islam berada dalam ketertinggalan. Tidak
hanya itu saja, keadaan dunia saat ini telah dipenuhi oleh berbagai paham
ideologi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam, seperti ideologi
capitalisme, materialisme, naturalisme, pragmatisme, liberalisme bahkan ateisme
yang secara keseluruhan hanya berpusat pada kemauan manusia (anthropocentris). Hal ini berbeda dengan
karakteristik keseimbangan ajaran Islam yang memadukan antara berpusat pada
manusia (anthropo-centris) dan
berpusat pada Tuhan (theo-centris).[21]
Tantangan pendidikan
Islam saat ini jauh berbeda dengan tantangan pendidikan Islam sebagaimana yang
terdapat pada zaman klasik dan pertengahan. Baik secara internal maupun
eksternal tantangan pendidikan Islam di zaman klasik dan pertengahan cukup
berat, namun secara psikologis dan ideologis lebih mudah diatasi. Secara
internal ummat Islam pada masa masa klasik masih fresh (segar). Masa kehidupan mereka dengan sumber ajaran Islam,
yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah masih dekat, dan semangat militansi dalam
berjuang memajukan Islam juga masih amat kuat. Sedangkan secara eksternal, ummat
Islam belum menghadapi ancaman yang serius dari negara-negara lain, mengingat
keadaan negara-negara lain (Eropa dan Barat) masih belum bangkit dan maju
seperti sekarang.
Tantangan pendidikan
Islam di zaman sekarang selain menghadapi pertarungan ideologi-ideologi besar
dunia sebagaimana tersebut di atas, juga menghadapi berbagai kecenderungan yang
tak ubahnya seperti badai besar (turbulance) atau tsunami. Menurut Daniel Bell,
di era globalisasi saat ini keadaan dunia ditandai oleh lima kecenderungan
sebagai berikut:
Pertama, kecenderungan
integrasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya persaingan bebas dalam dunia
pendidikan. Karena, dunia pendidikan menurut mereka juga termasuk yang diperjuangkan, maka dunia pendidikan saat ini juga dihadapkan pada logika
bisnis. Munculnya konsep pendidikan yang berbasis pada sistem dan
infra-struktur, manajemen berbasis mutu terpadu (TQM), interpreneur university dan lahirnya Undang-undang Badan Hukum
Pendidikan (BHP) tidak lain, karena menempatkan pendidikan sebagai komoditi
yang diperdagangkan. Penyelenggaraan pendidikan saat ini tidak hanya ditujukan
untuk mencerdaskan bangsa, memberdayakan manusia atau mencetak manusia yang
salih, melainkan untuk menghasilkan manusia-manusia yang economic minded, dan penyelenggaraannya untuk mendapatkan
keuntungan material yang sebesar-besarnya.
Kedua, kecenderungan
fragmentasi politik yang menyebabkan terjadinya peningkatan tuntutan dan
harapan dari masyarakat. Mereka semakin membutuhkan perlakuan yang adil,
demokratis, egaliter, transparan, akuntabel, cepat, tepat dan profesional.
Mereka ingin dilayani dengan baik dan memuaskan. Kecenderungan ini terlihat
dari adanya pengelolaan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah (shool based management), pemberian
peluang kepada komite atau majelis sekolah/madrasah untuk ikut dalam perumusan
kebijakan dan program pendidikan, pelayanan proses belajar mengajar yang lebih
memberikan peluang dan kebebasan kepada peserta didik, yaitu model belajar
mengajar yang partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan
(PAIKEM).
School
Based Management atau
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah suatu reformasi sistem pengelolaan yang
melibatkan desentrasilisasi bujet dan keputusan-keputusan tentang personil,
kurikulum serta pengajaran.[22]
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) adalah keseluruhan proses perencanaan,
mengorganisasikan, mengembangkan dan mengendalikan seluruh pendukung/pengguna (stakeholder)
sekolah dan sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sekolah khususnya dan
tujuan pendidikan umumnya.[23]
Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model
pengelolaan yang memberikan otonomi (kewenangan dan tanggung jawab yang lebih
besar kepada sekolah), memberikan flaksibelitas atau keluweasan kepada sekolah,
mendorong partisipasi secara langsung dari warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan,
pengusaha), meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional
serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. dan tanggung jawab untuk
mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntunan sekolah
serta masyarakat yang ada. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan
tanggung jawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan
tuntunan sekolah serta masyarakat yang ada.[24] Melalui MBS dapat direncanakan, diorganisasikan, dikembangkan dan
dikendalikan semua potensi yang membawa
kemajuan sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
adalah keseluruhan proses perencanaan, mengorganisasikan, mengembangkan dan
mengendalikan seluruh pendukung/pengguna (stakeholder) sekolah dan
sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sekolah khususnya dan tujuan
pendidikan umumnya. Pemberlakuan otonomi daerah membawa implikasi
terhadap perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan. Berangkat dari pengalaman
empiris pendidikan Indonesia masa lalu, terlihat betapa pentingnya membangun
konsensus dan komitmen atas otonomi daerah bidang pendidikan, bahkan sampai
pada otonomi sekolah. Tampaknya akhir-akhir ini konsensus dan komitmen tersebut
mulai terbentuk, sehingga menjadi peluang bagi implementasi Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS).
Dengan partisipasi melibatkan warga
sekolah dan masyarakat secara aktif dalam menyelenggarakan sekolah, rasa
memiliki terhadap sekolah dapat ditingkatkan. Jadi peningkatan rasa memiliki
akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab. Peningkatan rasa tanggung
jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah.
Hal ini yang menjadi esensinya partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam
pendidikan. Peran serta warga masyarakat telah diatur dalam suatu kelembagaan
yang disebut dengan komite sekolah. Secara resmi keberadaan komite sekolah
ditunjukkan melalui Surat Keputusan Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan
dan Komite Sekolah menganut prinsip transparansi, akuntanbilitas dan demokrasi.[25]
Komite sekolah diharapkan menjadi
mitra sekolah yang dapat mewadahi dan menyalurakan aspirasi serta prakasa
masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di
sekolah. Tugas dan fungsi komite sekolah antara lain mendorong tumbuhnya
perhatian dan komite masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu, mendorong orang tua dan masyarakat, berpartisipasi dalam pendidikan
guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan dan menggalang dana
masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan.
Komite sekolah dapat memberikan
masukan dan pertimbangan kepada sekolah tentang kebijakan dan program
pendidikan secara rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah. Komite
sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung, memberi pertimbangan, mediator,
dan mengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sistem MBS sekolah
efektif dapat dikembangkan secara mandiri karena sekolah diberi kewenangan dan
tanggung jawab yang lebih besar (otonomi) untuk mengelolah potensi sumber daya
yang di miliki baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, (uang,
peralatan, perlengkapan, bahan, waktu dan sebagainya).[26] Berbagai
kebijakan sekolah hendaknya melibatkan bantuan dan permufakatan dari komite
sekolah. Akan tetapi, setiap sekolah yang mempunyai komite sekolah, hendaknya
selalu menjaga agar ada batas-batas yang tegas antara fungsi atau pekerjaan
sekolah sebagai instansi pemerintah yang mempunyai hirarki sendiri, dan tugas
kewajiban pengurus komite sekolah tersebut.
Manajemen
berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai
keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan
dalam GBHN. Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan
pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro,
miso maupun mikro. MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan melibatkan
masyarakat merupakan respon pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul di
masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi antara lain diperoleh
melalui keluesan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat.[27]
Ketiga, kecenderungan
penggunaan teknologi tinggi (high
technologie) khususnya teknologi komunikasi dan informasi (TKI) seperti
komputer. Kehadiran TKI ini menyebabkan terjadinya tuntutan dari masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat, transparan, tidak dibatasi waktu
dan tempat. Teknologi tinggi ini juga telah masuk ke dalam dunia pendidikan,
seperti dalam pelayanan administrasi pendidikan, keuangan, proses belajar
mengajar. Melalui TIK ini para peserta didik atau mahasiswa dapat melakukan
pendaftaran kuliah atau mengikuti kegiatan belajar dari jarak jauh (distance learning). Sementara itu peran
dan fungsi tenaga pendidik juga bergeser menjadi semacam fasilitator,
katalisator, motivator, dan dinamisator. Peran pendidik saat ini tidak lagi
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan (agen
of knowledge). Keadaan ini pada gilirannya mengharuskan adanya model
pengelolaan pendidikan yang berbasis teknologi informasi dan teknologi (TIK).
Keempat, kecenderungan
interdependensi (kesaling-tergantungan), yaitu suatu keadaan di mana seseorang
baru dapat memenuhi kebutuhannya apabila dibantu oleh orang lain. Berbagai
siasat dan strategi yang dilakukan negara-negara maju untuk membuat
negara-negara berkembang bergantung kepadanya demikian terjadi secara intensif.
Berbagai kebijakan hegemoni politik seperti yang dilakukan Amerika Serikat
misalnya, tidak terlepas dari upaya menciptakan ketergantungan negara
sekutunya. Ketergantungan ini juga terjadi di dunia pendidikan. Adanya badan
akreditasi pendidikan baik pada tingkat nasional maupun internasional, selain
dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan, juga menunjukkan ketergantungan
lembaga pendidikan terhadap pengakuan dari pihak eksternal. Demikian pula
munculnya tuntutan dari masyarakat agar peserta didik memiliki keterampilan dan
pengalaman praktis, menyebabkan dunia pendidikan membutuhkan atau tergantung
pada peralatan praktikum dan magang. Selanjutnya kebutuhan lulusan pendidikan
terhadap lapangan pekerjaannya, menyebabkan ia bergantung kepada kalangan
pengguna lulusan.
Kelima, kecenderungan
munculnya penjajahan baru dalam bidang kebudayaan (new colonization in culture) yang mengakibatkan terjadinya pola
pikir (mindset) masyarakat pengguna pendidikan, yaitu dari yang semula mereka
belajar dalam rangka meningkatkan kemampuan intelektual, moral, fisik dan
psikisnya, berubah menjadi belajar untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan
yang besar. Saat ini sebelum seseorang belajar atau masuk kuliah misalnya,
terlebih dahulu bertanya: nanti setelah lulus bisa jadi apa? Dan berapa
gajinya?. program-program studi yang tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut
baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan sendirinya akan terpinggirkan
atau tidak diminati. Sedangkan program-program studi yang menawarkan pekerjaan
dan penghasilan yang baik bagi lulusannya akan sangat diminati. Tidak hanya
itu, kecenderungan penjajahan baru dalam bidang kebudayaan juga telah
menyebabkan munculnya budaya pop atau budaya urban, yaitu budaya yang serba
hedonistik, materialistik, rasional, ingin serba cepat, praktis, pragmatis dan
instans. Kecenderungan budaya yang demikian itu menyebabkan ajaran agama yang
bersifat normatif dan menjanjikan masa depan yang baik (di akhirat) kurang
diminati. Mereka menuntut ajaran agama yang sesuai dengan budaya pop dan budaya
urban. Dalam keadaan demikian, tidaklah mengherankan jika mata pelajaran agama
yang disajikan secara normatif dan konvensional menjadi tidak menarik dan ketinggalan
zaman. Keadaan ini mengharuskan para guru atau ahli agama untuk melakukan
reformulasi, reaktulisasi, dan kontekstualisasi terhadap ajaran agama, sehingga
ajaran agama tersebut akan terasa efektif dan transformatif.[28]
Upaya memformulasikan
kembali teori dan praktek pendidikan Islam segera dilakukan. Untuk itu
pendidikan Islam harus kontekstual terhadap arus global, pada intinya
menghilangkan batas pendidikan Islam yang dikotomik
menuju pendidikan yang integralistik.
Hal-hal yang perlu dilakukan pendidikan Islam antara lain:
a.
Mengharmoniskan kembali ayat-ayat
ilahiyah dengan ayat-ayat kauniyah
b.
Islamisasi ilmu pengetahuan.
c. Mengharmoniskan kembali relasi
Tuhan-manusia dalam bentuk pendidikan yang teo-antropo-sentris dengan titik
tekan bahwa manusia itu makhluk Tuhan yang mulia.
d. Mengharmoniskan antara iman dengan ilmu keduanya tidak
boleh dipisahkan.
e. Mengharmoniskan antara pemenuhan kebutuhan rohani
(spiritual-ukhrowi) dengan pemenuhan kebutuhan jasmani (material-duniawi)
f. Mengharmoniskan antara wahyu dengan daya intelek
(berfikir, kritis dan rasional)[29]
Menurut
Ahmad Tantowi[30], dengan adanya era
globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut ialah
sebagai berikut:
Pertama, Pendidikan Islam
sebagai Proses Penyadaran. Pendidikan Islam harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat.
Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis hubungan
faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara
kesadaran tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat
Islam bisa melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi
bukanlah sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan oleh
Tuhan, akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur
globalisasi itu sendiri.
Kedua, Pendidikan
Islam sebagai Proses Humanisasi. Proses Humanisasi dalam pendidikan Islam
dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang
tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang ada padanya.
Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan (ptoensi
rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ketiga, Pendidikan Islam sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah. Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era
globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan
menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri ini. Menurut Abuddin
Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian kecil elit politik
(penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk
kalangan pelajar. Bagi pendidikan Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya
bukan sesuatu yang baru. Sebab akhlak memang merupakan misi utama agama Islam.
Hanya saja, akibat penetrasi budaya
sekuler barat, belakangan ini masalah pembinaan akhlak dalam institusi
pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu, pendidikan Islam harus dikembalikan
kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan
dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi
pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal. Pembinaan akhlak sebagai
(salah satu) orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini adalah sesuatu
yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa sangat
ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.
C. Kesimpulan
Hakikat pendidikan Islam ialah untuk
membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani
menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang
didasarkan pada hukum-hukum islam. Sedangkan hakikat dari Globalisasi bukan
sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai
dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk
pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.
Problematika Pendidikan Islam di era
global ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal yang didalmnya ada :
Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam, Masalah Kurikulum,
Pendekatan/Metode Pembelajaran, Profesionalitas dan Kualitas SDM, dan Biaya
Pendidikan. Dan
faktor eksternal yang meliputi Dichotomic, To General Knowledge, Lack of
Spirit of Inquiry, Memorisasi, dan Certificate Oriented.
Solusi
dari problematika tesebut ialah pendidikan Islam harus dikembalikan kepada
fitrahnya dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang
harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun
nonformal.
D. Implikasi
Pendidikan
harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana
penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Pendidikan Islam di Era
Global ini diorientasikan bahwa Pendidikan Islam sebagai proses penyadaran,
sebagai proses humanisasi, dan sebagai pembinaan akhlak al-karimah.
Oleh : Jelit
[1]Depdiknas,
Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.
7.
[2]Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar
Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002),
hal. 93.
[3]Zakiah Daradjat, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 2008), hal. 86.
[4] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 103
[6] Abuddin Nata, Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era Globalisasi, Jakarta: UIN Jakarta, 2009)
[7]Ali Asyraf, New Horizon of Islamic Education, dalam
Sori Siregar (terjemah), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hal. 7.
[8]Abdurrahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004, hal. 150.
[9]A. Malik Fadjar (ed), Platform Reformasi Pendidikan
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.
10.
[10]
T. Raka Joni, Memicu Perbaikan Melalui
Kurikulum Dalam Kerangka Pikir Desentralisasi dalam Sindunata (ed), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita. (Yogyakarta:
Kanisius, 2000) hal. 253.
[11]Mastuhu, Memberdayakan
Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 2003), hal. 126.
[12]Mustopa Imam Mahat, Islam dan Turbulensi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, hal. 10.
[13]Sudarman Danim, Agenda
Pembaharuan Sistem Pendidikan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 64.
[15]Haidar
Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2009) Cet. I, hal. 44-45.
[16]Musthofa
Rembangy, Pendidikan Transformatif, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal.
20-21
[17]Haidar
Putra Daulay, op. cit., hal. 205-208
[18]Muhaimin,
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 11
[19]Musthofa
Rembangy, op. cit., hal. 28
[20]Abdul
Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Semarang: Need’s Press,
2008), Cet. I, hal. 14-23.
[21]Abuddin Nata, loc. cit.
[23]Mukhtar
& Widodo Suparto, Manajemen Berbasis Sekolah, (Jakarta: Fifamas,
2003), hal. 16.
[27]E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep
Strategi dan Implementasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 25.
[28]Abuddin Nata, loc. cit.
[29]
Istilah “islamisasi ilmu pengetahuan” perlu dipertegas lebih dulu dan
dilihat secara kritis. Webster’s New World College Dictionary (715)
mendefinisikan islamisasi sebagai to
bring within islam.
[30]
Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. I, hal. 90-104
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Analisis Kebijakan Pendidikan Agama Islam dalam Dunia Globalisasi"
Post a Comment