Faktor Sosial Politik Lahirnya SKB 3 Menteri Tahun 1975 Tentang Peningkatan Mutu Madrasah

Departemen Agama, dalam rangka melaksanakan program pengembangan madrasah sebagai pelaksanaan kewajiban belajar, memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada beberapa tempat pada 1958. Madrasah Wajib Belajar dimaksudkan sebagai usaha awal untuk memberikan bantuan dan pembinaan madrasah dalam rangka penyeragaman materi kurikulum dan sistem  penyelenggaraannya. Meskipun demikian, upaya ini masih kurang karena di dalamnya belum dibicarakan mengenai penyatuan pendidikan umum dan pendidikan agama.
Pengorganisasi dan struktur kurikulum dan sistem penyelengaraan Madrasah Wajib Belajar diatur sebagai berikut:
a.  Madrasah Wajib Belajar adalah tanggung jawab pemerintah baik mengenai guru-guru, alat-alat, maupun buku-buku pelajarannya, apabila madrasah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk menjadikan Madrasah Wajib Belajar.
b.   Murid-murid yang belajar di Madrasah Wajib Belajar berumur 6-14 tahun. Adapun tujuan Madrasah Wajib Belajar adalah untuk mempersiapkan mutu murid untuk mandiri dan mencari nafkah, terutama dalam lapangan ekonomi, industrilisasi dan transmigrasi.
c.   Lama belajar pada Madrasah Wajib Belajar adalah 8 tahun.
d.   Pelajaran yang diberikan pada Madrasah Wajib Belajar terdiri dari kelompok studi pelajaran agama, pengetahuan umum, dan keterampilan dan kerajinan tangan.
e.   Komposisi jam pelajaran adalah 25% pelajaran agama, sedangkan75% untuk pengetahuan umum dan keterampilan/ kerajinan tangan.
Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah mendirikan madrasah-madrasah negeri secara lengkap dan terperinci, baik dalam penjenjangan maupun materi kurikulum, dan sistem  penyelenggarannya. Ketentuan materi kurikulum adalah 30% untuk pelajaran agama, dan 70% untuk materi pengetahuan umum. Tujuan pendidikan madrasah-madrasah negeri adalah untuk menjadi model dan standar dalam rangka memberikan ketentuan secara lebih konkrit bagi penyelenggara madrasah. Pihak-pihak penyelenggara madrasah diharapkan dapat mencontoh dan mempedomani ketentuan-ketentuan penyelenggaraan madrasah dan dengan demikian diharapkan akan tercapai keseragaman mutu kualitas madrasah.
Pada tanggal 18 April tahun 1972, presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya.  Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan masalah. Padahal dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Kebijakan Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional. Ketegangan ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama, sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah.
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud). 
Pendidikan agama menunjuk pada sistem pendidikan yang apresiasinya terhadap sains sangat lemah. Dalam pengertian yang agak sama dengan pendidikan. Zianuddin Sardar menggunakan istilah pendidikan tradisional. Menurut Sardar di samping metodenya yang kuno, cirinya yang sangat kuat terletak pada muatan silabusnya yang pada umumnya tidak mencakup pelajaran-pelajaran seperti sains. pendidikan umum sebagai pendidikan modern yang asumsi dasar serta filsafat pendidikannya ditranfer dari Barat.
Pendidikan umum bisa diidentifikasikan sebagai suatu sistem yang menunjuk pada kegiatan atau lembaga pendidikan yang secara khusus atau titik tekan silabusnya mengajarkan ilmu-ilmu sains. Perlu dicatat, bahwa sains yang diajarkan sepenuhnya bersumber dari Barat yang sudah mengalami proses sekulerisasi. Jika dipertegas, maka defenisi di atas menunjuk pada model pendidikan yang disini dikenal dengan istilah (dasar hingga menengah) dan perguruan tinggi umum untuk tingkat universitas.
Pendidikan agama titik beratnya pada pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan tujuan pendidikan agama adalah pada pengembangan rohani yang diharapkan dapat melahirkan peserta didik yang religius, atau dalam term Islam lebih dikenal dengan istilah muttaqien (orang yang bertakwa kepada Allah SWT). Persolannya, mungkin akan sulit ketika ketika dihadapkan pada pertanyaan, ketakwaan yang bagaimana sebenarnya yang ingin dituju oleh pendidikan agama.
Muamalah (ibadah dalam arti luas) yang meliputi penguasaan disiplin ilmu (sains) dan keterampilan kurang terakomodasi dalam tujuan pendidikan agama. Melihat konsepsi manusia dalam perspektif Islam yang memandang manusia terdiri dari dua dimensi (dimensi jasmani dan rohani) maka pendidikan agama telah mereduksinya pada dimensi rohaniah semata.
Pada tataran inipun penyatuan pendidikan agama belum mendapat perhatian dari pemerintah ke dalam pendidikan umum. Dengan kondisi ini, maka pada tahun 1975, menjadi momen terpenting mengenai eksistensi madrasah dengan lahirnya SKB 3 Menteri.
Sebelum lahirnya SKB 3 Menteri, sebenarnya umat Islam di Indonesia belum mempunyai landasan hukum yang kuat untuk menjamin eksistensi madrasah-madrasah. Landasan perundangan bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia adalah UU Pendidikan Nomor 4 tahun 1950. jo. Nomor 12 tahun 1954 yang telah diganti dengan UU Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem  Pendidikan nasional. Dalam pasal 13 dinyatakan bahwa atas dasar kebebasan tiap-tiap warga negara menganut sesuatu agama atau keyakinan hidup, maka kesempurnaan leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggaran sekolah-sekolah partikelir (ayat 1). Peraturan-peraturan yang khusus tentang sekolah-sekolah partikelir ditetapkan dalm undang-undang (ayat 2).
UU yang mengatur tentang sekolah-sekolah atau perguruan tinggi agama sampai saat ini belum pernah muncul, meskipun RUU tentang hal tersebut pernah diajukan sebelum tahun 1960 dan tahun 1976. Telah pula dipersiapkan oleh Departemen Agama untuk diajukan kembali ke DPR.
Dengan demikian sejak tahun 1950 sampai tahun 1989 dasar juridis tempat berpijaknya peguruan agama/madrasah belum begitu kuat karena pengelolaan hanya berdasarkan peraturan-peraturan oleh Menteri Agama. Baru sejak tanggal 24 Maret 1975. Madrasah memperoleh dasar yuridis yang agak mantap yaitu dengan lahirnya Keputusan Bersama Tiga Menteri cq. Menteri agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1975, Nomor 037/U/1975 dan Nomor 36 tahun 1975. Setelah lahirnya UU Nomor 2/1989 kedudukan lembaga pendidikan agama diperkokoh.
Pada tahun 1975, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kubudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang peningkatan Mutu pendidikan pada madrasah. Melalui SKB ini, madrasah diharapkan memperoleh posisi yang sama dengan sekolah-sekolah umum dalam sistem  pendidikan nasional sehingga lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi karena tingkat mata pelajaran umum di madrasah sama mutunya dengan pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat. Dalam SKB juga dirumuskan mengenai  batasan dan penjenjangan madrasah. madrasah di sini dimaksudkan sebagai lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar, yang diberikan sekurang-kurangnya 30% di samping mata pelajaran umum. Adapun penjenjangan madrasah meliputi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Untuk merealisir SKB tersebut, Departemen Agama melalui penertiban, penyeragaman, dan penyamanan penjenjangan pada madrasah-madrasah dengan langkah-langkah menciutkan jumlah PGAN dan mengubah status sebagian besar PGAN tersebut menjadi Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah Negeri dan mengubah status Sekolah Persiapan IAIN, menjadi MAN serta Pga-PGA yang diselenggarakan oleh pihak swasta juga harus dirubah statusnya menjadi MTs atau MA.

Dalam konteks di atas, sejumlah diktum yang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan lagi dengan merinci bagian-bagian yang menunjukan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Dalam bab I, pasal 1, ayat (2) misalnya dinyatakan:
a.   Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah dasar.
b.   Madraah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama.
c.   Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas.
Selanjutnya dalam bab II pasal 2 disebutkan bahwa:
a.   Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum yang setingkat.
b.   Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke Sekolah Umum setingkat lebih atas.
c.   Siswa Madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum yang setingkat.
d.   Mengenai penglolaan dan pembinaan dinyatakan dalam Bab IV pasal 4 sebagai berikut:
e.   Pengelolaan Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama
f.    Pembinaan mata pelajaran Agama pada Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
g.   Pembinaan dan pengawasan mutu mata pelajaran umum pada madrasah dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri.
Upaya untuk mengatasi ketimpangan antara pendidikan agama dan pendidikan umum terus diupayakan. Untuk menyamakan antara sekolah agama dan sekolah umum di antaranya mengubah kurikulum di sekolah agama. Surat Keputusan Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri pada tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah yang menetapkan :
a.   Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat.
b.   Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah  umum setingkat lebih atas
c.  Lulusan madrasah dapat dipindah ke sekolah-sekolah umum yang setingkat dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.
Surat keputusan bersama tersebut merupakan upaya pencapaian awal intergasi antara pendidikan agama dan pendidikan umum ke dalam sistem pendidikan nasional. Dengan demikian berarti bahwa pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan  dengan pendidikan nasional. Pendidikan Islam telah menjadi bagian integral yang tidak terpisah dari pendidikan nasional.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Faktor Sosial Politik Lahirnya SKB 3 Menteri Tahun 1975 Tentang Peningkatan Mutu Madrasah"

Post a Comment