Makalah Sejarah Sosial Pendidikan Islam (SSPI) Tentang Sejarah Pondok Pesantren

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang

Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, persentasenya mencapai 88%. Bahkan merupakan jumlah muslim terbesar di dunia. Berkaitan dengan itu pendidikan yang ada di Indonesia tidak hanya di sekolah umum, ataupun di madrasah, melainkan ada juga pondok pensantren. Tetapi masih banyak masyarakat yang belum memahami betul tentang pondok pesantren.

Maka dalam makalah ini akan dibahas tentang pondok pesantren, mulai dari ”Pengertian, Tujuan, dan Sejarah Pondok Pesantren”. Sehingga  masyarakat mengenal betul tentang pondok pesantren, dan tidak lagi menganggap sebelah mata tentang pondok pesantren.

B.  Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.   Apa pengertian Pondok Pesantren?
2.   Apa tujuan Pendidikan Pondok Pesantren?
3.   Bagaimana Sejarah Pondok Pesantren?

C.  Tujuan Pembahasan

Dari rumusan masalah diatas, maka makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1.   Memahami tentang pengertian Pondok Pesantren.
2.   Mengetahui tujuan Pendidikan Pondok Pesantren.
3.   Mengetahui Sejarah Pondok Pesantren.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Pondok Pesantren

Pondok adalah rumah atau tempat tinggal sederhana, disamping itu kata “Pondok” berasal dari bahasa Arab “Funduq” yang berarti asrama. Sedangkan Istilah pesantren berasal dari kata Shastri (India) yang berarti Orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Dalam bahasa Jawa menjadi Santri dengan mendapat awalan Pe dan akhiran an menjadi Pesantren : Sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.

Pesantren adalah sebuah pendidikan tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau.

Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.

Pesantren merupakan “Bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia, dimana bila di tinjau dari segi sejarah dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama.

Di Aceh Pesantren disebut : dayah, Rangkang, Meunasah. Pasundan disebut Pondok, dan di Minangkabau disebut Surau. Pimpinan pesantren tertinggi (Pengasuh) disebut Kyai (jawa), Tengku (Aceh), Datuk atau Buya (Minangkabau), Abah/Ajengan (Sunda).

Tokoh yang pertama mendirikan pesantren adalah Maulana malik Ibrahim (w. 1419M), beliau menggunakan Masjid dan pesantren untuk pengajaran ilmu-ilmu agama yang akhirnya melahirkan tokoh-tokoh wali songo. Pada taraf permulaan bentuk pesantren sangat sederhana, kegiatan pendidikan dilakukan di masjid dengan beberapa santri. Ketika Raden Rahmad (Sunan Ampel) mendirikan pesantren (Ampel Dento) hanya memiliki tiga orang santri. Para santri yang telah selesai belajarnya di Pesantren Ampel Dento kemudian mendirikan pesantren baru. Salah satunya adalah Raden Paku (Sunan Giri) yang mendirikan Pesantren d desa Sidomukti, Gresik yang bernama Giri Kedaton.

Pesantren Giri Kedaton memiliki santri dari berbagai daerah, seperti jawa, Madura, Lombok, Sumbawa, Makasar, Ternate, dan lain-lain. Setiap santri kemudian mendirikan pesantren di daerahnya masing-masing dengan demikian pesantren dapat berkembang dengan pesat.

B.  Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren

Tujuan pendidikan pesantren menurut Mastuhu adalah menciptakan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat atau berhikmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau menjadi abdi masyarakat mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan kepribadian yang ingin di tuju ialah kepribadian mukhsin, bukan sekedar muslim.

Sedangkan menurut M.Arifin bahwa tujuan didirikannnya pendidikan pesantren pada dasarnya terbagi pada dua yaitu:

a.  Tujuan Khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang ‘alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh Kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
b.  Tujuan Umum, yakni membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar dan melalui ilmu dan amalnya

C.  Sejarah Pondok Pesantren

Jauh sebelum masa kemerdekaan, pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren) telah menjadi sistem pendidikan nusantara. Hampir di seluruh pelosok nusantara, khususnya di pusat-pusat kerajaan Islam telah terdapat lembaga pendidikan yang kurang lebih serupa walaupun menggunakan nama yang berbeda-beda, seperti Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau dan Pesantren di Jawa. Namun demikian, secara historis awal kemunculan dan asal-usul pesantren masih menyisakan kontroversi di kalangan para ahli sejarah.

Banyak penulis sejarah pesantren berpendapat bahwa institusi ini merupakan lembaga pendidikan Islam hasil adopsi dari luar. Sebut saja Karel A. Steenbrink dan Martin van Bruinessen yang memandang bahwa pesantren bukanlah lembaga pendidikan Islam tipikal Indonesia. Jika Steenbrink yang mengutip dari Soegarda Poerbakawatja memandang pesantren diambil dari India, maka Bruinessen berpendapat bahwa pesantren berasal dari Arab. Kedua-duanya memiliki pendapat untuk memperkuat pendapatnya masing-masing.

Ada dua alasan yang dikemukakan Steenbrink untuk memperkuat pandangan bahwa pesantren diadopsi dari India, yaitu alasan terminologi dan alasan persamaan bentuk. Menurutnya, secara terminologis, ada beberapa istilah yang lazim digunakan di pesantren seperti mengaji dan pondok, dua istilah yang bukan dari Arab melainkan dari India. Selain itu, sistem pesantren telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Selain Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem dan istilah-istilah di atas kemudian diambil oleh Islam.

Sementara itu, dari segi bentuknya ada persamaan antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Jawa. Persamaan bentuk tersebut terletak pada penyerahan tanah oleh negara bagi kepentingan agama yang terdapat dalam tradisi Hindu. Persamaan lainnya terletak pada beberapa hal yaitu seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapatkan gaji, penghormatan (ihtirâm) yang besar terhadap guru, dan para siswanya meminta sumbangan ke luar lingkungan pesantren. Selain itu, letak pesantren yang didirikan di luar kota juga membuktikan bahwa asal-usul pesantren berasal dari India.

Di pihak lain, Bruinessen berpendapat bahwa pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia besar kemungkinan berasal dari Arab. Alasannya tentang posisi Arab khususnya Mekah dan Madinah sebagai pusat orientasi bagi umat Islam. Ia memberi contoh salah satu tradisi 'kitab kuning' di pesantren. Baginya, 'kitab kuning' yang berbahasa Arab merupakan salah satu bukti bahwa asal usul pesantren dari tanah Arab. Tentang 'kitab kuning' ini, lebih lanjut beliau menulis sebagai berikut:

"Tradisi kitab kuning jelas bukan tradisi dari Indonesia. Semua kitab klasik yang dipelajari di Indonesia berbahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum Islam tersebar di Indonesia. Demikian juga banyak kitab syarah atas teks klasik yang bukan dari Indonesia (meskipun syarah yang ditulis ulama Indonesia makin banyak). Bahkan, pergeseran perhatian utama dalam tradisi tersebut sejalan dengan pergeseran serupa yang terjadi di sebagian besar pusat dunia Islam. Sejumlah kitab dipelajari di pesantren relatif baru, tetapi tidak ditulis di Indonesia, melainkan di Mekah atau Madinah (meskipun pengarangnya boleh jadi orang Indonesia sendiri)."

Selain bukti tradisi 'kitab kuning', Bruinessen juga menunjukkan bukti lain yang menunjukkan bahwa asal-usul pesantren dari tanah Arab. Menurutnya, pola pendidikan pesantren menyerupai pola pendidikan madrasah dan zāwiyah di Timur Tengah. Jika madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam di luar masjid, maka zāwiyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang berbentuk lingkaran dan mengambil tempat di sudut-sudut masjid. Kedua lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan tempat belajar para calon ulama termasuk yang berasal dari Indonesia.

Mengingat hampir semua kiai-kiai besar menyelesaikan tahap akhir pendidikannya di pusat-pusat pengajaran Islam terkemuka di tanah Arab, maka pola pendidikan yang mereka kenal tersebut dikembangkan di tanah air dalam bentuk pesantren. Dengan demikian, mereka dapat di anggap sebagai perantara antara tradisi besar keilmuan Islam yang bersifat internasional dengan verian tradisi Islam yang masih sederhana di Indonesia.

Pendapat Steenbrik dan Bruinessen yang menyatakan bahwa asal usul pesantren dari India dan Arab, perlu ditelaah kembali kebenarannya. Mengingat beberapa istilah Jawa yang digunakan di pesantren, pendapat bahwa asal-usul pesantren dari India atau Arab tidak dapat diterima. Nurcholish Madjid mencatat ada 4 (empat) istilah Jawa yang dominan digunakan di pesantren, yaitu: santri, kiai, ngaji, dan njenggoti.

Kata "santri" yang digunakan untuk menunjuk peserta didik di pesantren berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana saja guru pergi dengan tujuan untuk mempelajari ilmu yang dimiliki oleh sang guru. Istilah lain untuk menunjuk guru di pesantren adalah kiai yang juga berasal dari bahasa Jawa. Perkataan “kiai” untuk laki-laki dan “nyai” untuk perempuan digunakan oleh orang Jawa untuk memanggil kakeknya. Kata kiai dan nyai dalam hal ini mengandung pengertian rasa ihtirām terhadap orang tua.

Istilah lain yang berasal dari bahasa Jawa dan dominan digunakan di pesantren adalah ngaj’ dan njenggoti. Kata “ngaji” yang digunakan untuk menunjuk kegiatan santri dan kiai di pesantren berasal dari kata “aji” yang berarti terhormat dan mahal. Kata “ngaji” biasanya digandengkan dengan kata “kitab”; “ngaji kitab” yang berarti "kegiatan santri pada saat mempelajari kitab yang berbahasa Arab". Oleh karena santri banyak yang belum mengerti Bahasa Arab, maka kitab tersebut oleh kiai diterjemahkan kata demi kata ke dalam Bahasa Jawa. Para santri mengikuti dengan cermat terjemahan kiainya dan mereka mencatatnya pada kitab yang dipelajari, yaitu di bawah kata-kata yang diterjemahkan.

Kegiatan mencatat terjemahan ini di pesantren biasa dikenal dengan istilah “njenggoti”, karena catatan mereka itu menggantung seperti janggut pada kata-kata yang diterjemahkan. Penggunaan istilah Jawa di atas menunjukkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia merupakan khas Indonesia. Pada awalnya, pesantren lahir di Jawa dan selanjutnya berkembang di luar Jawa.

Alasan lain yang menolak kesimpulan bahwa tradisi kitab kuning yang berbahasa Arab berasal dari Arab adalah pendapat Mahmud Yunus. Menurutnya, kitab kuning yang dijadikan materi ajar utama di pesantren baru terjadi pada tahun 1900-an. Sebelum itu para kiai menulis kitab-kitab dengan tangan mereka yang dijadikan bahan dalam pembelajaran di pesantren. Setelah percetakan mulai dikenal secara luas di dunia Islam dan beberapa kitab dicetak secara massal, mulailah berdiri toko-toko kitab di Indonesia.

Pada saat itulah, penggunaan kitab-kitab kuning di pesantren mulai mengambil peran. Kemudian, harus diakui bahwa beberapa kitab kuning yang dijadikan sumber belajar di pesantren ditulis oleh penulis Indonesia yang belajar dan menjadi syekh di Haramain, seperti Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Banjar. Dengan demikian, sangatlah tidak logis jika dikatakan bahwa tradisi kitab kuning sebagai alasan untuk menyimpulkan bahwa pesantren berasal dari Arab.

Hal penting lainnya adalah bahwa penggunaan kitab-kitab berbahasa Arab di pesantren tidak dapat dihindari karena Mekah dan Madinah merupakan kiblat bagi umat Islam Indonesia sejak masuk ke Indonesia sampai sekarang ini. Hal ini sebagai petunjuk bahwa para kiai dalam mengembangkan Islam di pesantren mengacu kepada model yang dicontohkan Rasulullah Saw. Bagi para kiai, Rasulullah saw. dipandang sebagai model universal yang harus diikuti umat Islam seluruh dunia termasuk muslim santri Jawa itu sendiri.

Selain Rasulullah Saw, para kiai, dalam mengembangkan pesantren juga mengacu kepada para wali yang berjumlah sembilan di Jawa. Bagi para kiai, Walisongo di daerah Jawa dipandang sebagai model domestik yang perlu dicontoh untuk pengembangan pendidikan di pesantren. Ini berarti bahwa pesantren merupakan lembaga yang unik di Indonesia, sehingga dapat dianggap sebagai lembaga khas Indonesia.

Pendapat bahwa asal-usul pesantren dari tradisi agama Hindu di India seperti yang dikemukakan oleh Steenbrink di atas ternyata tidak memiliki alasan yang kuat. Pandangan bahwa keberadaan pesantren di Jawa terpengaruh oleh tradisi India bisa dipahami. Namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa asal-usul pesantren dari tradisi agama Hindu. Tradisi pesantren sangat berhati-hati terhadap sinkretisme dan senantiasa memperbaharui kembali melalui sumbernya sendiri.

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa sumber terpenting bagi Islam tradisional Indonesia adalah kota suci Mekah pusat orientasi semua dunia Islam. Orientasi kedua adalah Madinah dimana Nabi membangun masjid pertama dan wafat. Konsekuensinya adalah, hampir semua pengarang Islam dan ulama Indonesia menghabiskan banyak waktunya di Mekah, Madinah, dan pusat-pusat pengajaran di Timur Tengah.

Lalu, kapan kemunculan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia? Beberapa sumber tidak menyebutkan secara gamblang tentang kemunculan pesantren di Indonesia. Namun demikian, dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) pada tahun 1984-1985 diperoleh informasi bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pesantren Jan Tanpes II di Pamekasan Madura, yang didirikan pada tahun 1062.

Informasi ini dibantah oleh Mastuhu dengan alasan bahwa sebelum adanya Pesantren Jan Tanpes II, tentunya ada Pesantren Jan Tampes I yang lebih tua, dan dalam buku Kementerian Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendiriannya. Jadi, mungkin mereka memiliki usia yang lebih tua. Selain itu, Mastuhu menduga bahwa pesantren didirikan setelah Islam masuk ke Indonesia.

Informasi Departemen Agama tentang keberadaan pesantren tertua di Indonesia di atas juga ditolak oleh Martin van Bruinessen. Menurut Bruinessen, Pesantren Tegalsari (salah satu desa di Ponorogo, Jawa Timur) merupakan pesantren tertua di Indonesia yang didirikan pada tahun 1742 M. Sepanjang penelitiannya, Bruinessen tidak menemukan bukti yang jelas adanya pesantren (pada abad ke-19) sebelum berdirinya pesantren Tegalsari. Bahkan, sebelum abad ke-20 belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok.

Pada umumnya, pada tahun-tahun sebelum abad ke-20, kegiatan pendidikan Islam di Jawa, Banten, dan luar Jawa masih berbentuk informal dengan pusat kegiatannya di masjid. Pesantren Tegalsari ini sekarang tinggal kenangan dalam sejarah, karena secara fisik tidak ditemukan keberadaannya.

Terlepas dari perdebatan panjang dan berliku tentang asal-usul kemunculan pesantren, pada sisi yang lain pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan pesantren di tengah-tengah masyarakat selalu direspon positif oleh masyarakat. Respon positif masyarakat tersebut digambarkan oleh Zuhairini sebagai berikut:

"… bahwa pesantren didirikan oleh seorang kiai dengan bantuan masyarakat dengan cara memperluas bangunan di sekitar surau, langgar atau mesjid untuk tempat mengaji dan sekaligus sebagai asrama bagi anak-anak. Dengan begitu anak-anak tak perlu bolak-balik pulang ke rumah orang tua mereka. Anak-anak menetap tinggal bersama kiai di tempat tersebut."

Ilustrasi Zuhairini di atas menunjukkan bahwa kehadiran pesantren merupakan kebutuhan masyarakat, mengingat keberadaan surau, langgar, dan mesjid sudah tidak memadai lagi sebagai lembaga pendidikan Islam. Dengan respon positif masyarakat tersebut, didirikanlah pesantren-pesantren di seluruh pelosok Indonesia, sehingga jumlah pesantren di Indonesia menjadi ribuan. Manfred Ziemek (salah seorang peneliti pendidikan Islam di Indonesia asal Jerman), mengutip temuan UNESCO bahwa pada 1954 tercatat ada 53.077 pesantren di seluruh Indonesia.

Data ini menurut Ziemek belum akurat, karena pada 1971 Bank Dunia memperoleh data bahwa jumlah pesantren di seluruh Indonesia ada 11.000 buah. Setelah dicek oleh Ziemek, ternyata UNESCO memasukkan pendidikan Islam di surau, langgar, dan masjid ke dalam hitungan jumlah pesantren. Data yang lebih baru dikemukakan Kepala Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, Abdul Jamil yang mengatakan, jumlah pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 25.000 pesantren dengan jumlah santri mencapai 3,65 juta jiwa.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Pondok pesantren yaitu suatu lembaga pendidikan islam yang didalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.

Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia bermanfaat bagi masyarakat atau berhikmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau menjadi abdi masyarakat mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu.


DAFTAR PUSTAKA

Dr. Abdullah Aly, M. Ag. 2011. Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Abunabiel Abdul Wahid Al-Faqier. https://www.facebook.com/ Pondok Pesantren Modern DaarElIstiqomah di akses pukul 19.30 WIB, Minggu 16 Oktober 2016

Ricky Diah. http://ricky-diah.blogspot.co.id/2011/12/makalah-pondok-pesantren-sebagai.html di akses pukul 19.30 WIB, Minggu 16 Oktober 2016

Attawazun. http://attawazun75.blogspot.co.id/2013/09/latar-belakang-berdirinya-pondok_9.html di akses pukul 19.30 WIB, Minggu 16 Oktober 2016

Wikipedia. https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren di akses pukul 19.30 WIB, Minggu 16 Oktober 2016

Azzahra Susan. http://pintubelajarcerdas.blogspot.co.id/2016/10/makalah-sejarah-sosial-pendidikan-islam.html di akses pukul 19.30 WIB, Minggu 16 Oktober 2016


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Makalah Sejarah Sosial Pendidikan Islam (SSPI) Tentang Sejarah Pondok Pesantren"

Post a Comment