Salam cerdas…..
A.
Pendahuluan
Secara
historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sangat
terkait erat dengan kegiatan dakwah Islamiyah. Pendidikan Islam berperan
sebagai mediator dimana ajaran Islam dapat disosialiasaikan kepada
masyarakat dalam berbagai tingkatannya.
Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Pendidikan
islam tersebut berkembang setahap demi setahap hingga mencapai tahapan seperti
sekarang ini.[1]
Bertolak dari kerangka tersebut, maka pendidikan Islam di Indonesia seringkali
berhadapan dengan problematika yang tidak ringan. Diketahui bahwa sebagai
sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang antara satu dan lainnya saling berkaitan.[2]
Maka, dengan
kultur Indonesia yang beragam dan mengalami penjajahan yang panjang, maka
secara langsung mempengaruhi warna pendidikan Islam Indonesia. Pendidikan Islam
mengambil tempat tersendiri di panggung sejarah, berbeda jalan dengan
pendidikan yang dibawah tanggung jawab pemerintah. Salah satunya adalah
pesantren dengan segala cirri khas yang dimilikinya telah mampu menjadi salah
satu lembaga pendidikan tertua dan berharga bagi umat Islam sampai saat ini.
B.
Pembahasan
1.
Asal Usul dan Perkembangan Pesantren
Istilah
“pesantren” diambil dari kata “santri” mendapat penambahan “pe” di depan dan
“an” di akhir, dalam bahasa Indonesia
berarti tempat tinggal santri, tempat dimana para pelajar mengikuti
pelajaran Agama. Istilah ‘santri” diambil dari kata shastri (Castri =
India), dalam bahasa Sansekerta bermakna orang yang mengatahui kitab suci
Hindu.[3]
Pada perkembangannya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dibuat pada
awalnya seperti rumah yang dikhususkan untuk kegiatan santri belajar.
Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah
tempat belajar para santri. Sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal
sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu kata “pondok” mungkin juga
berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti hotel atau asrama.[4]
Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren tidak
terlepas dari hubungan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan
Islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk Islam ingin mengetahui
lebih banyak isi ajaran agama yang baru dipeluknya, baik mengenai tata cara
beribadah, baca Al-Qur’an, dan mengetahui Islam yang lebih luas dan mendalam. Mereka ini belajar di rumah, surau, langgar atau masjid. Di
tempat-tempat inilah orang-orang yang baru masuk Islam dan anak-anak mereka
belajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya, secara individual dan
langsung. Dalam perkembangannya untuk lebih mendalam ilmu agama telah mendorong
tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk melanjutkan belajar agama
setelah tamat belajar di surau, langgar atau masjid. Model pendidikan pesantren
ini berkembang di seluruh Indonesia dengan nama dan corak yang sangat
bervariasi. Di Jawa disebut pondok pesantren, di Aceh dikenal rangkang, di
Sumatera Barat dikenal Surau, nama sekarang yang dikenal umum adalah pondok
pesantren.[5]
Menurut Zamaksyari Dofier ada lima unsur pokok pesantren: Kiai, Santrai,
Masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik.[6]
Pondok
pesantren di Indonesia mulai tercatat keberadaan dan perkembangannya mulai abad
ke-16. Karya-karya jawab klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Cenini
mengungkapkan uraian yang menjadi bukti adanya lembaga-lembaga yang mengajarkan
berbagai kitab Islam klasik dalam bidang fikih, tasawuf, dan menjadi
pusat-pusat penyiaran agama Islam yaitu pondok pesantren.[7] Berdasarkan hasil
pendataan yang dilaksanakan oleh Departemen Agama pada tahun 1984-1985
diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di
Pemekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II.[8] Akan tetapi hal ini
juga diragukan, karena tentunya ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua.[9]
Pendapat lain
mengatakan, pesantren yang pertama berdiri di tanah Jawa didirikan oleh Syekh
Maulana Malik Ibrahim yang di kenal dengan Syeikh Maghribi di masa Wali Songo,
seorang ulama yang berasal dari Gujarat, India. Sebagai ulama yang berasal dari
India tidaklah sulit baginya untuk mendirikan pesantren karena sebelumnya sudah
ada institusi pendidikan Hindu-Budha dengan sistem biara dan asrama sebagai
tempat belajar mengajar bagi para biksu dan pendeta. Selanjutnya pesantren oleh
beberapa anggota dari Wali Songo yang menggunakan pesantren sebagai tempat
mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan
pesantren di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel di Surabaya,
sunan giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang kemudian tempat ini lebih
dikenal dengan sebutan Giri Kedaton.[10]
Maulana Malik
Ibrahim dipandang sebagai orang pertama mendirikan pesantren. Apabila
ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum datangnya agama Islam telah ada
lembaga pendidikan Jawa Kuno yang praktik kependidikannya sama dengan
pesantren. Lembaga pendidikan Jawa Kuno itu bernama pawiyatan, di
lembaga tersebut tinggal Ki Hajar dengan Cantrik. Ki Hajar orang yang mengajar
dan Cantrik orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal di satu komplek dan
di sini terjadilah proses belajar mengajar.[11]
Sugarda
Poerbakawatja telah meneliti bahwa pesantren lebih mirip lembaga pendidikan
Hindu ketimbangan pendidikan Arab, karena memang awalnya lembaga ini merupakan
lembaga pendidikan agama Hindu. Hanya saja filosofinya dirubah ketika
masyarakat Islam mulai menguasai lembaga pendidikan ini.[12]
Keberadaan
wali Songo yang juga pelopor berdirinya pesantren dalam perkembangan Islam di
Jawa sangatlah penting sehubungan dengan peranannya yang sangat berjuang, Wali
Songo melakukan proses yang tak berujung, gradual dan berhasil dalam
menciptakan suatu tatanan masyarakat santri yang saling damai dan berdampingan.
Satu pendekatan yang sangat berkesesuaian dengan filsafat hidup masyarakat Jawa
yang menekankan stabilitas, keamanan dan harmoni.[13]
Pendekatan Wali Songo, yang kemudian melahirkan pesantren dengan segala
tradisinya, perilaku dan pola hidup soleh dengan mencontoh dan mengikuti para
pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya dan tradisi lokal merupakan ciri utama
masyarakat pesantren.[14]
Kemudian,
mengikuti hipotesa Steenbrink (1986) yang mengatakan bahwa sejak permulaan abad
ke-20 telah terjadi perubahan besar dalam pendidikan Islam Indonesia atau
pesantren. Perubahan, atau lebih tepatnya pergeseran, ini terjadi karena
beberapa faktor. pertama, kolonialisme dan sistem pendidikan liberal.
Propaganda sistem pendidika liberal yang diusung Belanda tentu saja berdampak
pada sistem pendidikan pesantren. Kedua, orientasi keilmuan pendidikan
pesantren. Tidak seperti pada abad ke XVI-XVIII, orientasi keilmiah pesantren
abad XX tidak lagi terpusat ke Hijaz melainkan merambah ke wilayah Timur Tengah
lainnya, semisalnya Mesir, Baghdad, atau bahkan ke Eropa. Ketiga,
munculnya gerakan pembaharuan di dunia Islam, yang mengkritik eksistensi
pesantren yang dikatakan sebagai lembaga pendidikan yang masih terbelakang
hanya mengajarkan ilmu agama saja.[15]
Walaupun pada
masa penjajahan, pondok pesantren mendapat tekanan dari pemerintah kolonial
Belanda, pondok pesantren masih bertahan terus dan tetap tegak berdiri,
walaupun sebagian besar berada daerah pedesaan. Peranan mendidik dan
mencerdaskan kehidupan bangsa tetap diembannya telah banyak kader-kader bangsa
dan tokoh-tokoh perjuangan nasional dilahirkan oleh pesantren. Bahkan pada masa
masa perjuangan kemerdekaan, banyak tokoh pejuang dan pahlawan-pahlawan
kemerdekaan yang berasal dari pesantren.[16] Demikian besar
peran pesantren dalam melahirkan tokoh agama, ulama dan intelektual muslim
sampai saat ini.
Pada awal abad
ke-20, sistem pesantren dengan corak klasik yang sesuai sistem pendidikan
Barat, mulai diperkenalkan dalam penyelenggaraan pendidikan di Nusantara,
sehingga sampai saat ini, sebagian pesantren telah memformalasikan sistem
pendidikannya. Ketika Mukti Ali menjabat Menteri Agama, ia mengadakan pembaruan
pesantren dengan membuka sekolah–sekolah umum (SD, SMP, dan SMU), di samping
madrasah (MI, MTS, dan MA) pada lembaga pesantren, dan memasukkan materi
pelajaran umum kepada lembaga pendidikan keagamaan tersebut dengan perbadingan
30% pelajaran umum dan 70% pelajaran agama. Dalam perkembangannya, jumlah
penduduk pesantren yang mencatat di dirjen pendidikan dasar dan menengah
sebanyak 8000 buah fomalisasi pesantren
sejak awal abad ke-20 telah “memaksa” 3000 pesantren menyelenggarakan
pendidikan formal (SD/MI, MTS,SMP, MA/SMU dan PT Agama Islam/PT Umum). Sementara
sisanya yang 5000 buah masih murni sebagai lembaga yang berfungsi tafaquh fi
al-din.[17]
Hingga saat ini pesantren terus melakukan reformulasi kurikulum untuk
menyelenggarakan pendidikan sesuai tuntutan zaman.
2.
Tradisi Keilmuan Pesantren
Pendidikan
Islam di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Pada
tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak-kontak pribadi maupun kolektif
antara mubaligh (pendidik) dengan peserta didiknya. Setelah komunitas muslim
terbentuk di suatu daerah tersebut tentu, mereka membangun tempat peribadatan
dalam hal ini masjid. Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama
muncul di samping rumah tempat kediaman ulama atau mubaligh. Setelah itu
muncullah lembaga pendidikan lainnya seperti pesantren, dayah, ataupun surau
dan meunasah. Nama-nama tersebut walaupun berbeda, tetapi hakikatnya sama yakni
sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan keagamaan. Perbedaan nama itu
hanya dipengaruhi oleh perbedaan tempat. [18]
Inti dari
pesantren itu adalah pendidikan ilmu agama, dan sikap beragama. Karenanya mata
pelajaran yang diajarkan semata-mata pelajaran agama. Pada tingkat dasar anak
didik baru diperkenalkan tentang dasar agama, dan Al-Qur’an Al-Karim. Setelah
berlangsung beberapa lama pada saat anak didik telah memiliki kecerdasan
tertentu, maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini
juga diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Mahmud Yunus
membagi pesantren pada tahap-tahap awal iru kepada empat tingkatan, yaitu:
tingkat dasar, menengah, tinggi, dan takhassun. [19]
Sejak awal pertumbuhannya, fungsi utama pondok pesantren adalah: (1) menyiapkan
santri mendalami dan menguasai ilmu agama Islam atau lebih dikenal dengan tafaqquh
fiddin, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut
mencerdaskan masyarakat Islam. Kemudian diikuti dengan tugas (2) dakwah
menyebarkan agama Islam dan (3) benteng pertahanan mata dalam bidang akhlak.
Sejalan dengan fungsi hal ini, materi yang diajarkan dalam pondok pesantren semuanya terdiri dari materi agama yang
diambil dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab.[20]
Usaha untuk
mengidentifikasi pesantren dilakukan juga oleh Kafrawi. Ia mencoba membagi pola
pesantren menjadi empat pola, yaitu:
a. Pesantren pola I ialah
pesantren yang mempunyai unit kegiatan dan elemen berupa masjid dan rumah kiai.
Pesantren ini masih sederhana. Kiai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk
tempat mengaji biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian
telah diselenggarakan secara kontinyu dan sistematik.
b.
Pesantren
pola II sama dengan pola I ditambah adanya pondokan bagi santri.
c. Pesantren
pola III sama dengan pola II tetapi ditambah adanya madrasah. Jadi pesantren
pola III ini telah ada pengajian sistem klasikal.
d. Sedangkan
pesantren pola IV ialah pesantren pola III ditambah adanya unit keterampilan
seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang, dan lain-lain.[21]
Sejarah pada
awal dan pembentukan dan pendirian pesantren tidak dilakukan sekaligus
sebagaimana pembangunan satu kompleks perkantoran atau sekolah, akan tetapi
biasanya dimulai dari pengajian-pengajian kecil di masjid-masjid atau di
mushola yang disampaikan oleh seorang kiai yang memiliki keahlian di salah satu
fakultas pengetahuan agama Islam. Kiai tersebut biasanya sudah pernah bermukim
bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun di Mekkah/Madinah, atau pernah
mengaji kepada seorang kiai terkenal di tanah air.[22]
Kemudian
ketika pulang ke daerahnya mereka mentrasformasikan pengetahuan tentang
ilmu-ilmu agama yang didapatkan kepada masyarakatnya. Semula pengajian hanya
berisi pengajian-pengajian yang berisi pemahaman keagamaan yang berkenaan
dengan aspek-aspek ibadah ritual, seperti shalat, berwudhu yang baik, dan
sedikit penyampaian tentang tata karma dan etika dalam masyarakat. Pengajaran
yang berlangsung di masjid dan mushola-mushola, kadang dilakukan secara
bergiliran dengan pindah-pindah tempat. Pengajarannya tidak pernah mebgenal
istilah “bayaran” untuk menggaji. Seluruh kiai yang mengajar karena motivasi
awal dalam pengajaran ini adalah semata-mata untuk menyebarkan agama Islam.[23]
Bagi mereka
yang berasal dari dekat biasanya berangkat mengaji dari rumah mereka namun bagi
mereka yang berasal dari luar daerah yang cukup jauh biasanya atas dasar
kesadaran sendiri mendirikan bangunan-bangunan sederhana di seitar masjid atau
surau untuk dijadikan tempat bermukim. Tempat bermukim inilah yang disebut
sebagai pondok atau pondok pesantren sedangkan mereka yang belajar disebut
dengan istilah santri mukim sedangkan santri yang pulang pergi dari rumah
mereka disebut dengan istilah santri kalong.[24]
Para santri
biasanya berusia antara 12 sampai 25 tahun namun bukan berarti tidak ada santri
yang berusia di bawah ataspun di atas batasan tersebut. Mereka yang berada di
bawah umur 12 tahun biasanya masuk di pesantren-pesantren khusus yang
menitikberatkan pada pendidik anak-anak sedangkan yang diatas usia 95 tahun
biasanya masih di pesantren khusus thariqah. Para santri biasanya mengaji
kepada kiai di masjid atau surau dengan membawa kitab kuning. Sistem pengajian
semacam ini biasa disebut sebagai pengajian bandongan atau wetonan, dimana kiai
mengartikan kata demi kata dan para santri secara keseluruhan mengartikan kitab
yang dibacakan dan mendengarkan keterangan yang diulas oleh kiai.[25]
Setelah
datangnya kaum penjajah Barat (Belanda), peranan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam semakin kokoh pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang reaksional terhadap penjajah. Karena itu, di zaman Belanda sangat kontras sekali pendidikan di pesantren
dengan pendidikan di sekolah-sekolah umum. Pesantren semata-mata mengajarkan
ilmu-ilmu agama sekali tidak semata-mata mengajarkan ilmu-ilmu agama lewat
kitab-kitab klasik, sedangkan sekolah umum Belanda sama sekali tidak mengajar
pendidikan agama. Sistem pendidikan pesantren metode, sarana fasilitas serta
yang lainnya masuk sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah Kolonial Belanda,
Non Klasikal, metodenya sorongan, watonan hafalan.[26]
Dalam perkembangan berikutnya pesantren mengalami
dinamika, kemampuan dan kesediaan pesantren untuk mengadopsi nilai-nilai baru
akibat modernisasi, menjadi pesantren berkembang dari yang tradisional ke
moderatan. Karena itu hingga saat sekarang pesantren tersebut dibagi dua secara
garis besar. Pertama pesantren salafi dan yang kedua khalafi. Pesantren
salafi adalah pesantren yang masih terikat dengan sistem dan pola lama,
sedangkan pesantren khalafi adalah pesantren yang telah menerima unsur-unsur
pembaruan.[27] Hingga saat ini perbedaan itu, masih nampak dalam
kurikulum yang digunakan di setiap pesantren di Indonesia.
C.
Kesimpulan
Istilah
“pesantren” diambil dari kata “santri” mendapat penambahan “pe” di depan dan
“an” di akhir, dalam bahasa Indonesia
berarti tempat tinggal santri, tempat dimana para pelajar mengikuti
pelajaran Agama.
Pondok pesantren di Indonesia mulai tercatat keberadaan
dan perkembangannya mulai abad ke-16. Pendapat lain mengatakan, pesantren yang
pertama berdiri di tanah Jawa didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim yang
di kenal dengan Syeikh Maghribi di masa Wali Songo, seorang ulama yang berasal
dari Gujarat, India.
Steenbrink mengatakan bahwa sejak permulaan abad ke-20
telah terjadi perubahan besar dalam pendidikan Islam Indonesia atau pesantren.
Perubahan, atau lebih tepatnya pergeseran, ini terjadi karena kolonialisme dan
sistem pendidikan liberal, sehingga berdampak pada orientasi keilmuan
pendidikan pesantren, dan terbentuklah apa yang dinamakan pesantren salafi dan
pesantren khalafi.
Oleh : Fitria
[1] Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Bogor: Prenada Media, tt, h. 1.
[2] Lihat
Sudirman, Dkk. Ilmu Pendidikan, Jakarta: Mutiara, 1986, Cet. I , h. 65.
[3] C.C.
Berg, “Indonesia,” H.A.R. Gibb (Editor), Wither Islam? A Survey of Modern
Movement in the Muslim World, London: Victor Gollannez & Ltd, 1932, h.
257
[4]
Zamaksyari Dofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1983, h. 18
[5] Anonim, Profil
Pondok Pesantren Mu’adalah, Jakarta: Departemen Agama RI, 2004, h. 1
[6]
Zamaksyari Dofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1984, h. 44
[7] Anonim, op.
cit., h. 3
[8]
Depertemen Agama RI, Nama dan data Potensi Pondok-Pondok Pesantren Seluruh
Indonesia, Jakarta, 1984/1985.
[9] Hasbullah, Kapita Selekta
Pendidikan Indonesia, Jakarta: RajaGarfindo Persada, 1999, h. 41.
[10]
Kafrawi, Pembaharuan Studi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Usaha
Pembentukan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta: Cemara
Indah, tt, h. 17.
[11] Haidar
Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
Kencana, 2007, h. 21
[12] Sugarda
Poerbakawatja, Pendidikan Dalam alam Indonesia Merdeka, Jakarta: Gunung
Agung, 1970, h. 17-18.
[13]
Abdurrahman Mastud, Pesantren dan Wali Songo, dalam Dariri Amin (ed.) Islam
dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gajah Mada, 2002, Cet. II, h. 227
[14] Faiqoh,
Nyai Agen Perubahan Di Pesantren, Jakarta: Kucica, 2003, h. 152.
[15] Lihat selengkapnya
dalam Mastuki HS dan M. Ishom El-Saha (Editor), Intelektualisme Pesantren:
Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren, Jakarta:
Diva Pustaka, 2004, h. 3-4
[16] Hasbullah, op. cit., h.
43.
[17] Armai
Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, Ciputat, Ciputat Press Group,
2007, h, 56-57.
[18] Haidar
Putra Daulay, op. cit, h. 145-146.
[19] Haidar
Putra Daulay, op. cit., h. 21-22
[20] Anonim,
op. cit., h. 3
[21] Lihat Endang Soetari AD, Laporan Penelitian
Sistem Kepemimpinan Pondok Pesantren, Bandung: Balai Penelitian IAIN Sunan
Gunung Jati, 1987, h. 441-42.
[22] Faiqoh,
op. cit., h. 161.
[23] Ibid.,
h. 1161-162.
[24] Ibid.,
h. 162-163.
[25] Ibid.,
h. 163-164.
[26] Haidar
Putra Daulay, op. cit., h. 22
[27] Ibid.,
h. 22
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Pesantren : Asal Usul, Perkembangan dan Tradisi Keilmuan"
Post a Comment