Salam Cerdas…..
A.
Pendahuluan
Periode
modern dalam Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang.
Di awal periode ini kondisi umat Islam secara politis berada di bawah penetrasi
kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M dunia Islam bangkit
memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.[1] Pembaharuan
pendidikan di Mesir setelah adanya kontak dengan peradaban Barat. Invansi
Napoleon yang membawa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, membuka mata
rakyat Mesir bahwa umat Islam telah tertinggal oleh kemajuan Barat, selanjutnya
mendorong umat Islam mengadakan pembaharuan. Upaya pembaharuan ini dipelopori
oleh Muhammad Ali, besar sekali kontribusinya bagi Mesir untuk menjadi negara modern.
Gerakan pembaharuannya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi
kepada umat Islam.
Pusat dunia Islam sebelumnya berada di
Baghdad, tetapi setelah Baghdad diserang oleh Khulagu pada tahun 1256 M, ibu
kota dunia Islam pindah ke Karto Mesir. Begitu juga lembaga pendidikannya, yang
semula bait al-hikmah di Baghdad menjadi Al-Azhar di Mesir didirikan
sebagai lembaga pendidikan alternatif, sekaligus pusat ilmu pengetahuan yang
dikunjungi oleh para ulama dan pelajar dari seluruh pelosok dunia hingga kini.
Selain Muhammad Ali Pasya, Muhammad Abduh adalah
tokoh yang paling bersemangat melakukan pembaharuan dalam Islam, karena ia
telah banyak berjuang untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang sebelumnya bersikap
apatis menjadi dinamis.[2] Menurut
Muhammad Abduh, pendidikan itu sangat penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan
itu wajib dipelajari, dan yang menjadi perhatiannya adalah mencari alternatif
untuk bisa keluar dari stagnasi yang dihadapinya dari sekolah agama Mesir.
Ini tercermin dengan baik sekali yang
dilakukannya dalam pendidikan di Al-Azhar. Ada beberapa masalah yang ditemukan
Muhammad Abduh di lapangan yang menurutnya menyimpang dan menjadi penyebab
utama kemunduran umat Islam. Di antara masalah-masalah tersebut adalah masalah
kurikulum, metode mengajar, dan pendidikan wanita.[3]
B.
Pembahasan
1.
Pembaharuan
Pendidikan di Mesir
Al-Azhar didirikan oleh Jauhar al-Shiqili,
pada tahun 361 atau 972 M,.sejak dibangun hingga kini, al-Azhar mendapat
perhatian dan bantuan dari pihak pemerintah setempat. Pada awal berdiri
Al-Azhar mengajar fiqh menurut Mazhab Syi’ah kemudian berganti dengan mazhab
sunni. Selanjutnya didirikan madrasah-madrasah dengan guru-guru resmi yang
diangkat untuk mengajar di sana. Kemajuan al-Azhar mengalami jatuh bangun. Saat
Mesir jatuh dibawah kekuasaan Sulthan Umaniyah Turki tahun 1517 M atau 923 H, kemegahan
Mesir pun pindah ke Istambul Turki. Modernisasi Mesir dilakukan kembali. Pada
tahun 1805 M atau 1220 H Muhammad Ali pasya membangun kembali Al-Azhar. Para
ulamanya dikirim untuk belajar ke Prancis guna mempelajari ilmu kedokteran,
teknik, militer dan lain-lain.[4]
Setelah
selesai revolusi 1789, Perancis mulai menjadi negara besar yang mendapat
saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris pada waktu itu telah melihat
kepentingannya di India serta untuk memutuskan komunikasi antar Inggris di
Barat dan India di Timur, Napoleon
melihat bahwa Mesir perlu diletakkan di bawah kekuasaan Perancis.[5]
Dengan
menguasai Mesir, maka Inggris mempunyai tujuan untuk pemasaran hasil
industrinya. Tempat yang strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang
dicita-citanya itu adalah Kairo dan buka
Roma atau Paris, hal inilah yang mendorong Perancis dan Napoleon menduduki
Mesir.[6]
Harus diakui bahwa ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir pada tahun 1801,
ternyata telah membuka mata dunia Islam, terutama bangsa Turki dan Mesir, hal ini ditandai dengan kemunduran dan
kelemahan umat Islam, di samping adanya kemajuan dan kekuatan dunia Barat.
Kendati,
ekspedisi Napoleon di mesir hanya 3 tahun, namun Napoleon telah membawa ide-ide
baru yang dihasilkan melalui revolusi
Perancis, seperti sistem pemerintahan Republik, ide pemasaran dan rakyat turut
serta dalam pemerintahan serta ide kebangsaan.[7] Pada tahun 1799 M.
Sultam Salim III (1789-1807) mengirim tentara ke Mesir untuk memerangi tentara
Perancis, Muhammad Ali merupakan salah satu di antara prajurit Usmani kala itu.[8]
Ketika Muhammad Ali pergi ke Mesir, ia mempunyai kedudukan sebagai wakil
perwira yang mengepalai pasukan yang dikirim dari daerahnya.
Pasukan yang
dipimpin bukan terdiri dari orang-orang Turki, melainkan dari orang-orang
Albania.[9]
Kemudian Muhammad Ali menjadi tokoh pembaharu di Mesir sesudah berada di
puncak kekuasaan. Setelah Muhammad Ali berkuasa penuh, ia menjadi wakil Sultan
yang resmi di Mesir. Sehubungan dengan itu, untuk mengetahui bagaimana usaha
Muhammad Ali dalam mengambil kekuasaan, inilah yang menjadi inti pembahasan
dalam makalah ini.
Kendatipun Muhammad Ali Pasya seorang buta
huruf, namun ia mengerti akan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi
kemajuan suatu negara. Dalam pembangunan pendidikan, ia mendirikan kementerian
pendidikan dan sekolah militer pada tahun 1815, lalu sekolah teknik dan
kedokteran pada tahun 1827. Para guru dan tenaga ahlinya didatangkan dari Barat
dan Eropa. Muhammad Ali Pasya juga mengirimkan para pelajar untuk studi di
Barat guna mendalami berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berkembang disana. Sekembalinya mereka ke tanah air mereka ditugaskan untuk
mengembangkan iptek tersebut. Untuk memperkuat pertahanan negaranya, Muhammad Ali
Pasya mengembangkan pendidikan militer dan bentuk latihan lainnya.
Modernisasi pendidikan yang dilakukan
Muhammad Ali Pasya ini merupakan upaya pembaharuan pendidikan di dunia Islam
yang pertama karena bentuk sekolah yang didirikannya berbeda dengan madrasah
atau sekolah tradisional yang ada sebelumnya, yang hanya menekankan pelajaran
agama semata. Muhammad Ali Pasya tampil dalam pembaharuan sistem pendidikan
secara nasional di Mesir melalui jalur politik sebagai pejabat pemerintah, sehingga
kemajuan pendidikan pendapat perhatian serius dari pemerintah saat itu.
Sebagai halnya di Barat, di dunia Islam juga
timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam
dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi modern itu. Dengan jalan
demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat
Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan[10].
Oleh karenanya, pembaharuan yang muncul dalam studi-studi modernisme di
negara-negara Islam penghujung abad
ke-18 dan awal abad ke-19 banyak memunculkan tema-tema sentral tentang perlunya
Iptek sebagai pemikat perluasan upaya menaikkan citra peradaban Islam menapaki
abad-abad berikutnya. Sehingga ada kecenderungan lebih bersemangat untuk proses
Islamisasi sains, yang di barat saat ini seakan sains bebas nilai dari
keikutsertaan agama memberikan masukan positif di dalamnya.
Sistem pendidikan yang terjadi pada sekolah-sekolah
pemerintah tampil dengan kurikulum yang memberikan ilmu pengetahuan Barat sepenuhnya,
tanpa memasukkan ilmu pengetahuan agama ke dalam kurikulum tersebut.[11]
Dualisme pendidikan ini melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda.
Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat yang
enggan menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi. Tipe
sekolah yang kedua melahirkan kelas elit generasi muda hasil pendidikan yang
dimulai pada abad ke-19. dengan Ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh dapat
menerima ide-ide yang datang dari Barat. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad
Ali terasa timpang, sekolah-sekolah agama berjalan di atas garis tradisional,
baik dalam kurikulum maupun metode pengajaran yang diterapkan. Ilmu-ilmu Barat tidak
diberikan di sekolah-sekolah agama, dengan demikian pendidikan agama kala itu
tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk
mengembangkan aspek jiwa sejajar dengan perkembangan aspek jiwa yang lain.
Gerakan pembaharuan Islam di Mesir juga
dilakukan oleh Muhammad Abduh, yang cinta pada ilmu pengetahuan. Pembaharuan mendirikan terutama untuk skop lembaga pendidikan tradisional dan keagamaan, yaitu
al-Azhar. Bagi Abduh, ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat bersumber
dari sunnahtullah atau hukum alam, jadi tidak bertentangan dengan ajaran
Islam.[12]
Umat Islam hendaknya memperhatikan pendidikan dan iptek. Sekolah-sekolah modern
perlu dibuka dan diberikan pengetahuan modern di samping materi agama.
Menurut Muhammad Abduh, pembaharuan mendirikan di al-Azhar akan mempengaruhi Dunia Islam, mengingat al-Azhar
merupakan universitas Islam internasional yang banyak dikunjungi para pelajar
muslim dari seluruh penjuru dunia. Al-Azhar juga mendapat tempat yang terhormat
di kalangan umat Islam. Pola pikir Muhammad Abduh yang demikian menghendaki
dimaksukkannya beberapa disiplin ilmu modern dalam kurikulum al-Azhar, seperti
fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah, begitu juga pendidikan
agama yang lebih intensif, termasuk sejarah kebudayaan Islam. Kurikulum ini
juga hendaknya berlaku pada sekolah-sekolah bentukan pemerintah.
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang
dimajukan Rasyid Ridha, tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan
Jamaluddin Al-Afghani. Rasyid Ridha juga
merasa perlunya dilaksanakan ide pembahuruan dalam bidang pendidikan. Untuk itu
ia melihat perlunya ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut:
teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung,
ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga
(kesejahteraan keluarga) yaitu di samping fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain
yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional.
Peradaban Barat modern menurut Rasyid Ridha
berdasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan, umat Islam harus
menerima peradaban Barat yang ada. Bahkan ia melihat wajib bagi umat Islam mempelajari
ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Umat Islam di zaman klasik mencapai
kemajuan karena mereka maju mengambil ilmu pengetahuan. Barat maju karena mau
mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam itu. Dengan demikian
mengambil ilmu-pengetahuan Barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali
ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
2.
Kurikulum Pendidikan,
Metode Mengajar dan Pendidikan Perempuan
Tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan
jiwa dan menyampaikan kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[13]
Tujuan pendidikan demikian diwujudkan dalam
seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas.
Kurikulum tersebut adalah:
a.
Kuriklum al-Azhar
Kurikulum perguruan
tinggi al-Azhar disesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam
hal ini, ia memasukkan ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke
dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat
menjadi ulama modern.[14]
b.
Tingkat Sekolah Dasar
Abduh beranggapan
bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah mulai semenjak masa
kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran
agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan
memiliki kepribadian muslim, rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan
nasionalisme untuk dapat mengembangkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus
dapat meraih kemajuan.
c.
Tingkat Atas
Upaya yang dilakukan Abduh
dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam
berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan lainnya.
Melalui lembaga pendirikan ini, Abduh meras perlu untuk memasukkan beberapa
materi, khususnya pendirikan agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam.
Sedangkan di madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan al-Azhar, Abduh
mengajar ilmu mantik, falsafah, dan Tauhid.
Ketiga paket kurikulum ini merupakan gambaran
umum dari kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam setiap tingkat. Dengan
demikian, dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh menekankan pemberian
pengetahuan pokok, yaitu fikh, sejarah Islam, akhlak dan bahasa. Dalam bidang
metode mengajar ia pun membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu.
Penerapan metode hapalan yang selama ini dipakai diganti dengan metode diskusi
yang memberikan ruang untuk murid-murid dapat mengembangkan daya nalarnya.
Perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh dalam
bidang pendidikan dengan mengadakan perbaikan terhadap sistem pendidikan di
Universitas Al-Azhar. Dengan mengadakan pembaharuan melalui Al Azhar maka dunia
pendidikan Islam akan mengikutinya, sebab menurut pertimbangannya, al-Azhar
merupakan lambang dan panutan pendidikan Islam di Mesir dan dunia Islam pada
umumnya ketika itu. Dan kegiatan itu
dilakukan sekitar tahun 1985. Sayangnya karena kepentingan politik, Abbas Helmi
yang menjadi penguasa Mesir (Chedevi) ketika itu mengubah pendirinya,
hingga usaha Muhammad Abduh kandas di tengah jalan.[15]
Memperbanyak sekolah-sekolah Barat akan sama
artinya dengan menyamai pengaruh Barat hingga umat akan cenderung meneladani
adat istiadat asing. Pembuatan meniru serupa itu akan memperlemah dan
memadamkan semangat rakyat serta akan membuka pintu bagi kekuasaan asing yang
ditiru itu masuk ke negeri-negeri Islam. Maka obat satu-satunya adalah menurut
Muhammad Abduh adalah dengan cara mengeluarkan paham-paham asing dan salah itu
dari tubuh Islam.[16]
Pemikiran Muhammad Abduh, tentang pendidikan
dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam di awal abad ke-20. Pemikiran
Muhammad Abduh yang disebar luaskan melalui tulisannya di majalah Al Manar
dan Urwat Al Wusqa menjadi rujukan bagi tokoh pembaharu dalam dunia
Islam, hingga di berbagai dunia Islam muncul gagasan dengan mendirikan
sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum yang dirintis Abduh.[17]
Sama halnya dengan Abduh, Dalam lapangan
pendidikan, Ridha juga sangat antusias mendung program Abduh yang melakukan
pemasukan ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga pendidik milik umat Islam.
Menurutnya, Barat maju sekarang ini karena ditopang oleh penguasaan mereka atas
iptek. Bagi ummat Islam menguasai Iptek tidak bertentangan. Umat Islam di zaman
klasik dapat maju karena memiliki iptek, sekarang kalau ummat Islam
menguasainya, sama saja mengambil milik mereka yang telah hilang. Jadi dengan
menguasai iptek merupakan suatu langkah positif. [18]
Untuk itu, kedua tokoh ini memandang pendidikan merupakan kebutuhan yang
mendasar untuk membawa umat Islam mengejar ketertinggalan dengan bang-bangsa
Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pemikirannya yang lain adalah tentang
pendirikan wanita. Menurutnya wanita haruslah mendapat pendidikan yang sama
dengan laki-laki. Katanya wanita haru dilepas dari rantai kebodohan, maka dari
itu ia perlu diberikan pendirikan. Sesuai dengan firman Allah dalam Surah al-Baqarah:
228, dan surah al-Ahzab: 35 dalam pandanan Abduh ayat tersebut mensejajarkan lelaki
dan wanita dalam hal mendapatkan keampunan dan apabila yang diberikan Allah
atas perbuatan yang sama, baik yang besifat keduniaan maupun agama.
Dalam pendirikan non formal Muhammad Abduh
melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para
pendakwah. Tugas mereka yang utama adalah:
a.
Menyampaikan kewajiban dan pentingnya
belajar.
b. Mendidik mereka dengan memberikan
pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui.
c.
Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta
pada negara, tanah air, dan pemimpin.[19]
Di luar pendidikan formal pun, Abduh
menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari ilmu-ilmu yang datang
dari Barat. Di samping itu Abduh pun menggalakkan umat Islam mempalajari
ilmu-ilmu modern.
3.
Siswa Pendidikan/Persekolahan
Selain al-Azhar, di Mesir terdapat beberapa
universitas lain, yaitu Universitas of Cairo (1948), Alexandria University
(1942), Ein al-Syams University (1950), Assuit University (1958). Sampai pada
tahun 1958, mesir menerapkan sistem persekolahan sebagai berikut:
a.
Sistem pendidikan keagamaan, misalnya
madrasah, kutab, dan al-Azhar.
b.
Sistem sekolah yang menggunakan bahasa
pengantar bahasa asing.
c.
Sistem sekolah yang menggunakan bahasa
pengantar bahasa Arab.
d.
Sistem sekolah yang didirikan oleh
pemerintah.
e.
Sistem sekolah asing dengan kurikulum
sendiri.[20]
Dari tingkat rendah hingga tinggi sistem
pengajara al-Azhar di kelola oleh majis Tinggi al-Azhar yang dipegang oleh Syaikh
al-Azhar. Sampai pada tahun 1996 sistem perjenjangan pendidikan lembaga ini
adalah:
a.
Tingkat Rendah (ibtida’i)
selama 6 tahun.
b.
Tingkat Menengah (I’dad) salama
3 tahun.
c.
Tingkat menengah atas (tsanawi)
selama 3 tahun.
d.
Tingkat universitas selama 4-6 tahun.[21]
Sejak tahun akademik 1992/1993, universitas
al-Azhar telah membuka filiannya di luar Kairo, yaitu Iskandariyah, Damanhur, Dimyat,
Mansurah, Zawahik, Tanta, dan Shibin al-Kom. Pihak al-Azhar juga mengadakan
fakultas yang tersendiri, yang memisahkan mahasiswa lelaki dan perempuan. Dari
dulu hingga kini, al-Azhar telah sukses melahirkan jutaan sarjana dan
cendekiawan. Hal ini merupakan upaya para pemimpin yang terus-menerus melakukan
modernisasi.
Sistem sekolah asing dengan kurikulum sendiri.
Sistem perjenjangan pendidikan di lembaga ini adalah tingkat rendah selama 6
tahun, tingkat menengah selama 3 tahun, tingkat menengah atas selama 3 tahun dan
tingkat universitas selama 4-6 tahun. Pola pendidikan persekolahan ini dikenal
dengan pola 6-3-3-4 tahun.
C.
Kesimpulan
Dalam pendidikan nonformal Muhammad Abduh
menyebutkan usaha perbaikan (ishlah). Dalam hal ini perlu adanya campur
tangan pemerintah terutama dalam mempersiapkan pendakwah. Di luar pendidikan
formal Muhammad Abduh menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari
ilmu-ilmu yang datang dari Barat, di samping itu ia menggalakkan umat Islam
mempelajari ilmu-ilmu modern.
Oleh : Ismail
[1]Badri
Yatim. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001),
h. 173.
[2]Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), Cet. 1,
h. 250.
[3]Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2007), Cet. 1,
h. 239.
[4]Abd.
Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan Sketsa Perbandingan
Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, (Yogkarta: Gama Media, 2003),
h. 58.
[5]Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.
28.
[6] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 28.
[7]Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 31-33.
[8] Ahmad
Syalaby, Mausu’ah Al-Tarikh Al-Islamy, (Kairo: Maktabah al-Nahdah
al-Misriyah, 1977), h. 350.
[9]Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 35.
[10]Harun
Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 11-12.
[11]Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 248.
[12]Abd.
Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan Sketsa Perbandingan
Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, h. 58.
[13]Harun
Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1987), h. 190.
[14]Ramayulis
& Samsul Nizal, Eksiklopedi Tokoh Pendidikan Islam dan mengenal tokoh
pendidikan Islam di dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teaching,
2005), h. 47.
[15]Jalaludin
dan Usman Said, Filsafat Islam Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hh. 155.
[16]Jalaludin
dan Usman Said, Filsafat Islam Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya, h.
156.
[17]Jalaludin
dan Usman Said, Filsafat Islam Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya, h.
157.
[18]Abdul
Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 69.
[19]Ramayulis
& Samsul Nizal, Eksiklopedi Tokoh Pendidikan Islam dan Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, h. 47. ; Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, h. 251.
[20]Abd.
Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan Sketsa Perbandingan
Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, h. 60.
[21]Abd.
Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan Sketsa Perbandingan
Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, h. 62.
Belum ada tanggapan untuk "Makalah Pendidikan di Mesir Setelah Napoleon Abad 18-20"
Post a Comment