Makalah Pendidikan di Mesir Setelah Napoleon Abad 18-20

Salam Cerdas…..

A.  Pendahuluan

Periode modern dalam Islam bermula dari tahun 1800 M dan berlangsung sampai sekarang. Di awal periode ini kondisi umat Islam secara politis berada di bawah penetrasi kolonialisme. Baru pada pertengahan abad ke-20 M dunia Islam bangkit memerdekakan negerinya dari penjajahan Barat.[1] Pembaharuan pendidikan di Mesir setelah adanya kontak dengan peradaban Barat. Invansi Napoleon yang membawa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, membuka mata rakyat Mesir bahwa umat Islam telah tertinggal oleh kemajuan Barat, selanjutnya mendorong umat Islam mengadakan pembaharuan. Upaya pembaharuan ini dipelopori oleh Muhammad Ali, besar sekali kontribusinya bagi Mesir untuk menjadi negara modern. Gerakan pembaharuannya telah memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada umat Islam.

Pusat dunia Islam sebelumnya berada di Baghdad, tetapi setelah Baghdad diserang oleh Khulagu pada tahun 1256 M, ibu kota dunia Islam pindah ke Karto Mesir. Begitu juga lembaga pendidikannya, yang semula bait al-hikmah di Baghdad menjadi Al-Azhar di Mesir didirikan sebagai lembaga pendidikan alternatif, sekaligus pusat ilmu pengetahuan yang dikunjungi oleh para ulama dan pelajar dari seluruh pelosok dunia hingga kini.

Selain Muhammad Ali Pasya, Muhammad Abduh adalah tokoh yang paling bersemangat melakukan pembaharuan dalam Islam, karena ia telah banyak berjuang untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang sebelumnya bersikap apatis menjadi dinamis.[2] Menurut Muhammad Abduh, pendidikan itu sangat penting sekali, sedangkan ilmu pengetahuan itu wajib dipelajari, dan yang menjadi perhatiannya adalah mencari alternatif untuk bisa keluar dari stagnasi yang dihadapinya dari sekolah agama Mesir. Ini  tercermin dengan baik sekali yang dilakukannya dalam pendidikan di Al-Azhar. Ada beberapa masalah yang ditemukan Muhammad Abduh di lapangan yang menurutnya menyimpang dan menjadi penyebab utama kemunduran umat Islam. Di antara masalah-masalah tersebut adalah masalah kurikulum, metode mengajar, dan pendidikan wanita.[3]

B.  Pembahasan

1.   Pembaharuan Pendidikan di Mesir

Al-Azhar didirikan oleh Jauhar al-Shiqili, pada tahun 361 atau 972 M,.sejak dibangun hingga kini, al-Azhar mendapat perhatian dan bantuan dari pihak pemerintah setempat. Pada awal berdiri Al-Azhar mengajar fiqh menurut Mazhab Syi’ah kemudian berganti dengan mazhab sunni. Selanjutnya didirikan madrasah-madrasah dengan guru-guru resmi yang diangkat untuk mengajar di sana. Kemajuan al-Azhar mengalami jatuh bangun. Saat Mesir jatuh dibawah kekuasaan Sulthan Umaniyah Turki tahun 1517 M atau 923 H, kemegahan Mesir pun pindah ke Istambul Turki. Modernisasi Mesir dilakukan kembali. Pada tahun 1805 M atau 1220 H Muhammad Ali pasya membangun kembali Al-Azhar. Para ulamanya dikirim untuk belajar ke Prancis guna mempelajari ilmu kedokteran, teknik, militer dan lain-lain.[4]

Setelah selesai revolusi 1789, Perancis mulai menjadi negara besar yang mendapat saingan dan tantangan dari Inggris. Inggris pada waktu itu telah melihat kepentingannya di India serta untuk memutuskan komunikasi antar Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon  melihat bahwa Mesir perlu diletakkan di bawah kekuasaan Perancis.[5]

Dengan menguasai Mesir, maka Inggris mempunyai tujuan untuk pemasaran hasil industrinya. Tempat yang strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citanya itu adalah  Kairo dan buka Roma atau Paris, hal inilah yang mendorong Perancis dan Napoleon menduduki Mesir.[6] Harus diakui bahwa ekspedisi Napoleon di Mesir yang berakhir pada tahun 1801, ternyata telah membuka mata dunia Islam, terutama bangsa Turki dan  Mesir, hal ini ditandai dengan kemunduran dan kelemahan umat Islam, di samping adanya kemajuan dan kekuatan dunia Barat.

Kendati, ekspedisi Napoleon di mesir hanya 3 tahun, namun Napoleon telah membawa ide-ide baru  yang dihasilkan melalui revolusi Perancis, seperti sistem pemerintahan Republik, ide pemasaran dan rakyat turut serta dalam pemerintahan serta ide kebangsaan.[7] Pada tahun 1799 M. Sultam Salim III (1789-1807) mengirim tentara ke Mesir untuk memerangi tentara Perancis, Muhammad Ali merupakan salah satu di antara prajurit Usmani kala itu.[8] Ketika Muhammad Ali pergi ke Mesir, ia mempunyai kedudukan sebagai wakil perwira yang mengepalai pasukan yang dikirim dari daerahnya.

Pasukan yang dipimpin bukan terdiri dari orang-orang Turki, melainkan dari orang-orang Albania.[9] Kemudian Muhammad Ali menjadi tokoh pembaharu di Mesir sesudah berada di puncak kekuasaan. Setelah Muhammad Ali berkuasa penuh, ia menjadi wakil Sultan yang resmi di Mesir. Sehubungan dengan itu, untuk mengetahui bagaimana usaha Muhammad Ali dalam mengambil kekuasaan, inilah yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini.

Kendatipun Muhammad Ali Pasya seorang buta huruf, namun ia mengerti akan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan suatu negara. Dalam pembangunan pendidikan, ia mendirikan kementerian pendidikan dan sekolah militer pada tahun 1815, lalu sekolah teknik dan kedokteran pada tahun 1827. Para guru dan tenaga ahlinya didatangkan dari Barat dan Eropa. Muhammad Ali Pasya juga mengirimkan para pelajar untuk studi di Barat guna mendalami berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang disana. Sekembalinya mereka ke tanah air mereka ditugaskan untuk mengembangkan iptek tersebut. Untuk memperkuat pertahanan negaranya, Muhammad Ali Pasya mengembangkan pendidikan militer dan bentuk latihan lainnya.

Modernisasi pendidikan yang dilakukan Muhammad Ali Pasya ini merupakan upaya pembaharuan pendidikan di dunia Islam yang pertama karena bentuk sekolah yang didirikannya berbeda dengan madrasah atau sekolah tradisional yang ada sebelumnya, yang hanya menekankan pelajaran agama semata. Muhammad Ali Pasya tampil dalam pembaharuan sistem pendidikan secara nasional di Mesir melalui jalur politik sebagai pejabat pemerintah, sehingga kemajuan pendidikan pendapat perhatian serius dari pemerintah saat itu.

Sebagai halnya di Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan  dan tehnologi modern itu. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan[10]. Oleh karenanya, pembaharuan yang muncul dalam studi-studi modernisme di negara-negara Islam  penghujung abad ke-18 dan awal abad ke-19 banyak memunculkan tema-tema sentral tentang perlunya Iptek sebagai pemikat perluasan upaya menaikkan citra peradaban Islam menapaki abad-abad berikutnya. Sehingga ada kecenderungan lebih bersemangat untuk proses Islamisasi sains, yang di barat saat ini seakan sains bebas nilai dari keikutsertaan agama memberikan masukan positif di dalamnya.

Sistem pendidikan yang terjadi pada sekolah-sekolah pemerintah tampil dengan kurikulum yang memberikan ilmu pengetahuan Barat sepenuhnya, tanpa memasukkan ilmu pengetahuan agama ke dalam kurikulum tersebut.[11] Dualisme pendidikan ini melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda. Tipe sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat yang enggan menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi. Tipe sekolah yang kedua melahirkan kelas elit generasi muda hasil pendidikan yang dimulai pada abad ke-19. dengan Ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh dapat menerima ide-ide yang datang dari Barat. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali terasa timpang, sekolah-sekolah agama berjalan di atas garis tradisional, baik dalam kurikulum maupun metode pengajaran yang diterapkan. Ilmu-ilmu Barat tidak diberikan di sekolah-sekolah agama, dengan demikian pendidikan agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa sejajar dengan perkembangan aspek jiwa yang lain.

Gerakan pembaharuan Islam di Mesir juga dilakukan oleh Muhammad Abduh, yang cinta pada ilmu pengetahuan. Pembaharuan mendirikan terutama untuk skop lembaga pendidikan tradisional dan keagamaan, yaitu al-Azhar. Bagi Abduh, ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Barat bersumber dari sunnahtullah atau hukum alam, jadi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[12] Umat Islam hendaknya memperhatikan pendidikan dan iptek. Sekolah-sekolah modern perlu dibuka dan diberikan pengetahuan modern di samping materi agama.

Menurut Muhammad Abduh, pembaharuan mendirikan di al-Azhar akan mempengaruhi Dunia Islam, mengingat al-Azhar merupakan universitas Islam internasional yang banyak dikunjungi para pelajar muslim dari seluruh penjuru dunia. Al-Azhar juga mendapat tempat yang terhormat di kalangan umat Islam. Pola pikir Muhammad Abduh yang demikian menghendaki dimaksukkannya beberapa disiplin ilmu modern dalam kurikulum al-Azhar, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah, begitu juga pendidikan agama yang lebih intensif, termasuk sejarah kebudayaan Islam. Kurikulum ini juga hendaknya berlaku pada sekolah-sekolah bentukan pemerintah.

Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha, tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Rasyid Ridha juga merasa perlunya dilaksanakan ide pembahuruan dalam bidang pendidikan. Untuk itu ia melihat perlunya ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut: teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga) yaitu di samping fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain yang biasa diberikan di Madrasah-madrasah tradisional.

Peradaban Barat modern menurut Rasyid Ridha berdasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan, umat Islam harus menerima peradaban Barat yang ada. Bahkan ia melihat wajib bagi umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Umat Islam di zaman klasik mencapai kemajuan karena mereka maju mengambil ilmu pengetahuan. Barat maju karena mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam itu. Dengan demikian mengambil ilmu-pengetahuan Barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.

2.   Kurikulum Pendidikan, Metode Mengajar dan Pendidikan Perempuan

Tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikan kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[13]

Tujuan pendidikan demikian diwujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah:

a.   Kuriklum al-Azhar
Kurikulum perguruan tinggi al-Azhar disesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini, ia memasukkan ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat menjadi ulama modern.[14]

b.   Tingkat Sekolah Dasar
Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya sudah mulai semenjak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki kepribadian muslim, rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat mengembangkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.

c.   Tingkat Atas
Upaya yang dilakukan Abduh dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan lainnya. Melalui lembaga pendirikan ini, Abduh meras perlu untuk memasukkan beberapa materi, khususnya pendirikan agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam. Sedangkan di madrasah-madrasah yang berada di bawah naungan al-Azhar, Abduh mengajar ilmu mantik, falsafah, dan Tauhid.

Ketiga paket kurikulum ini merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam setiap tingkat. Dengan demikian, dalam bidang pendidikan formal Muhammad Abduh menekankan pemberian pengetahuan pokok, yaitu fikh, sejarah Islam, akhlak dan bahasa. Dalam bidang metode mengajar ia pun membawa cara baru dalam dunia pendidikan saat itu. Penerapan metode hapalan yang selama ini dipakai diganti dengan metode diskusi yang memberikan ruang untuk murid-murid dapat mengembangkan daya nalarnya.

Perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan dengan mengadakan perbaikan terhadap sistem pendidikan di Universitas Al-Azhar. Dengan mengadakan pembaharuan melalui Al Azhar maka dunia pendidikan Islam akan mengikutinya, sebab menurut pertimbangannya, al-Azhar merupakan lambang dan panutan pendidikan Islam di Mesir dan dunia Islam pada umumnya ketika itu.  Dan kegiatan itu dilakukan sekitar tahun 1985. Sayangnya karena kepentingan politik, Abbas Helmi yang menjadi penguasa Mesir (Chedevi) ketika itu mengubah pendirinya, hingga usaha Muhammad Abduh kandas di tengah jalan.[15]

Memperbanyak sekolah-sekolah Barat akan sama artinya dengan menyamai pengaruh Barat hingga umat akan cenderung meneladani adat istiadat asing. Pembuatan meniru serupa itu akan memperlemah dan memadamkan semangat rakyat serta akan membuka pintu bagi kekuasaan asing yang ditiru itu masuk ke negeri-negeri Islam. Maka obat satu-satunya adalah menurut Muhammad Abduh adalah dengan cara mengeluarkan paham-paham asing dan salah itu dari tubuh Islam.[16]

Pemikiran Muhammad Abduh, tentang pendidikan dinilai sebagai awal dari kebangkitan umat Islam di awal abad ke-20. Pemikiran Muhammad Abduh yang disebar luaskan melalui tulisannya di majalah Al Manar dan Urwat Al Wusqa menjadi rujukan bagi tokoh pembaharu dalam dunia Islam, hingga di berbagai dunia Islam muncul gagasan dengan mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan kurikulum yang dirintis Abduh.[17]

Sama halnya dengan Abduh, Dalam lapangan pendidikan, Ridha juga sangat antusias mendung program Abduh yang melakukan pemasukan ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga pendidik milik umat Islam. Menurutnya, Barat maju sekarang ini karena ditopang oleh penguasaan mereka atas iptek. Bagi ummat Islam menguasai Iptek tidak bertentangan. Umat Islam di zaman klasik dapat maju karena memiliki iptek, sekarang kalau ummat Islam menguasainya, sama saja mengambil milik mereka yang telah hilang. Jadi dengan menguasai iptek merupakan suatu langkah positif. [18] Untuk itu, kedua tokoh ini memandang pendidikan merupakan kebutuhan yang mendasar untuk membawa umat Islam mengejar ketertinggalan dengan bang-bangsa Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pemikirannya yang lain adalah tentang pendirikan wanita. Menurutnya wanita haruslah mendapat pendidikan yang sama dengan laki-laki. Katanya wanita haru dilepas dari rantai kebodohan, maka dari itu ia perlu diberikan pendirikan. Sesuai dengan firman Allah dalam Surah al-Baqarah: 228, dan surah al-Ahzab: 35 dalam pandanan Abduh ayat tersebut mensejajarkan lelaki dan wanita dalam hal mendapatkan keampunan dan apabila yang diberikan Allah atas perbuatan yang sama, baik yang besifat keduniaan maupun agama.

Dalam pendirikan non formal Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama adalah:
a.   Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar.
b.  Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui.
c.   Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin.[19]

Di luar pendidikan formal pun, Abduh menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Di samping itu Abduh pun menggalakkan umat Islam mempalajari ilmu-ilmu modern.

3.   Siswa Pendidikan/Persekolahan

Selain al-Azhar, di Mesir terdapat beberapa universitas lain, yaitu Universitas of Cairo (1948), Alexandria University (1942), Ein al-Syams University (1950), Assuit University (1958). Sampai pada tahun 1958, mesir menerapkan sistem persekolahan sebagai berikut:
a.   Sistem pendidikan keagamaan, misalnya madrasah, kutab, dan al-Azhar.
b.   Sistem sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa asing.
c.   Sistem sekolah yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Arab.
d.   Sistem sekolah yang didirikan oleh pemerintah.
e.   Sistem sekolah asing dengan kurikulum sendiri.[20]

Dari tingkat rendah hingga tinggi sistem pengajara al-Azhar di kelola oleh majis Tinggi al-Azhar yang dipegang oleh Syaikh al-Azhar. Sampai pada tahun 1996 sistem perjenjangan pendidikan lembaga ini adalah:
a.   Tingkat Rendah (ibtida’i) selama 6 tahun.
b.   Tingkat Menengah (I’dad) salama 3 tahun.
c.   Tingkat menengah atas (tsanawi) selama 3 tahun.
d.   Tingkat universitas selama 4-6 tahun.[21]

Sejak tahun akademik 1992/1993, universitas al-Azhar telah membuka filiannya di luar Kairo, yaitu Iskandariyah, Damanhur, Dimyat, Mansurah, Zawahik, Tanta, dan Shibin al-Kom. Pihak al-Azhar juga mengadakan fakultas yang tersendiri, yang memisahkan mahasiswa lelaki dan perempuan. Dari dulu hingga kini, al-Azhar telah sukses melahirkan jutaan sarjana dan cendekiawan. Hal ini merupakan upaya para pemimpin yang terus-menerus melakukan modernisasi.

Sistem sekolah asing dengan kurikulum sendiri. Sistem perjenjangan pendidikan di lembaga ini adalah tingkat rendah selama 6 tahun, tingkat menengah selama 3 tahun, tingkat menengah atas selama 3 tahun dan tingkat universitas selama 4-6 tahun. Pola pendidikan persekolahan ini dikenal dengan pola 6-3-3-4 tahun.

C.  Kesimpulan

Dalam pendidikan nonformal Muhammad Abduh menyebutkan usaha perbaikan (ishlah). Dalam hal ini perlu adanya campur tangan pemerintah terutama dalam mempersiapkan pendakwah. Di luar pendidikan formal Muhammad Abduh menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari ilmu-ilmu yang datang dari Barat, di samping itu ia menggalakkan umat Islam mempelajari ilmu-ilmu modern.

Oleh : Ismail



[1]Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001), h. 173.
[2]Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), Cet. 1, h. 250.
[3]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2007), Cet. 1, h. 239.
[4]Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, (Yogkarta: Gama Media, 2003), h. 58.
[5]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 28.
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 28.
[7]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 31-33.
[8] Ahmad Syalaby, Mausu’ah Al-Tarikh Al-Islamy, (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1977), h. 350.
[9]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 35.
[10]Harun Nasution. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11-12.
[11]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 248.
[12]Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, h. 58.
[13]Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), h. 190.
[14]Ramayulis & Samsul Nizal, Eksiklopedi Tokoh Pendidikan Islam dan mengenal tokoh pendidikan Islam di dunia Islam dan Indonesia, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), h. 47.
[15]Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Islam Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hh. 155.
[16]Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Islam Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya, h. 156.
[17]Jalaludin dan Usman Said, Filsafat Islam Konsep Dan Perkembangan Pemikirannya, h. 157.
[18]Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 69.
[19]Ramayulis & Samsul Nizal, Eksiklopedi Tokoh Pendidikan Islam dan Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, h. 47. ; Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, h. 251.
[20]Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, h. 60.  
[21]Abd. Rachman Assegaf, Internasionalisasi Pendidikan Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam dan Barat, h. 62.  

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Makalah Pendidikan di Mesir Setelah Napoleon Abad 18-20"

Post a Comment